Olah Raga Ini Pakai Mata Hati

Jemparingan, Memanah ala Ksatria Yogyakarta dengan Mata Hati

Liputan6.com 2021-06-03 12:02:44
Tradisi Jemparingan, Budaya Panahan Kuno yang Jadi Daya Tarik Wisata Yogyakarta. (Liputan6.com/Istimewa)

Jemparingan Gaya Mataram Yogyakarta merupakan tradisi panahan yang tengah dikembangkan Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Berbeda dengan olahraga memanah biasa, Jemparingan Gaya Mataram Yogyakarta dilakukan pemanah dalam posisi duduk.

Tradisi panahan kuno yang menjadi ciri khas dari DIY ini akan menjadi pemanis atraksi wisata di Yogyakarta.

Jemparingan sendiri mempunyai aturan, yaitu pemanah harus mengenai bandul putih dengan warna merah di atasnya yang digantung dengan tali sebagai sasaran tembaknya.

Nantinya, ada bunyi lonceng yang menandai jika anak panah itu tertancap pada bandul tersebut.

Pemanah juga harus duduk dengan posisi bersila dengan jarak 30 meter dari sasaran, kemudian pemain harus menembakan anak panah ke bandul putih yang menggantung dengan panjang kira-kira 30 sentimeter.

Biasanya, pemanah Jemparingan diberi kesempatan menembak dalam 20 rambahan (ronde), setiap rondenya ada empat anak panah.


Asal Usul Jemparingan

Dilansir dari berbagai sumber, asal usul jemparingan yang masih eksis sampai saat ini sebetulnya sudah ada sejak terbentuknya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat di bawah pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono I pada 1755-1792.

Pada awalnya Jemparingan gagrag Mataraman (gaya Mataram) ini hanya dapat dimainkan oleh anggota keluarga kerajaan.

Namun, selanjutnya Raja Yogyakarta yaitu Sultan Hamengkubuwono I memerintahkan pengikut serta rakyatnya untuk belajar memanah guna membentuk watak ksatria.

Versi lain dari sejarah terbentuknya jemparingan yaitu bermula dari kebiasaan leluhur Mataram pada masa silam.

Keahlian memanah ini digunakan untuk berburu hewan, berperang, dan juga sebagai sarana mempertahankan diri.

Perlu diingat bahwa masyarakat Yogyakarta sangat setia dalam menjaga adat istiadat. Sehingga, tradisi Jemparingan Gaya Mataram Yogyakarta tetap lestari hingga masa kini.

Seperti pengertian jemparingan yang berarti memanah menggunakan rasa, gaya jemparingan yang berasal dari Kraton Ngayogyakarta ini juga mengedepankan konsep membidik tanpa menggunakan mata, tetapi dengan mata hati atau rasa.

Dalam perkembangannya, jemparingan ini meluas dengan pesat hingga Jawa Tengah, Jawa Timur, bahkan Bali.

Pada masa kini, jemparingan semakin meluas di kalangan masyarakat bahkan menyebar hingga ke Bali. Makin banyak pula dibentuk paguyuban-paguyuban hingga lomba-lomba jemparingan (gladhen).


Acara Indonesiana Jemparingan

Pada 2018 lalu, acara bertajuk Indonesiana Jemparingan sempat diadakan di Yogyakarta dengan dikuratori langsung kementerian kebudayaan kala itu.

Kepala Dinas kebudayaan DIY Umar Priyono kepada Liputan6.com saat itu mengatakan, tradisi jemparingan akan diangkat pada skala nasional. Acaranya sendiri dilaksanakan pada Mei 2018.

"Kita kerja sama dengan kementerian jadi ada yang intens tentang jemparingan baik nasional dan international," ujar Umar.

Selama acara ini akan ada workshop seputar jemparingan mulai dari panahan hingga tarian jemparingan. Bahkan tariannya ini masih dilakukan di Keraton Yogyakarta.

"Jemparingan ada olahraganya ada tariannya juga ada, itu di keraton jadi ini agenda nasional ini hal sangat baru," kata Umar.

Nantinya acara digelar di beberapa tempat, mulai dari Kepatihan, Keraton, hingga di Museum Sonobudoyo. Namun, ia belum mengetahui jadwal pasti karena masih berkordinasi dengan Dirjen Kebudayaan.

"Agenda jemparingan akan ada hanya di sini nanti. Kita sepakat dengan dirjen untuk acaranya. Ada workshop mungkin di kepatihan, tarian di sini di keraton," jelas Umar.

(Syauyiid Alamsyah)


Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Pacu Jawi di Ranah Minang

Menguak Arti dan Nilai Luhur dari Tradisi Pacu Jawi di Ranah Minang

Liputan6.com 2021-06-02 22:49:28
Joki berusaha mengendalikan sapi dalam kegiatan tradisional"Pacu Jawi" di areal pesawahan di Pariangan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, Sabtu (1/12). Pacu Jawi telah menjadi atraksi wi

Sebagian masyarakat mungkin mengenal tradisi karapan sapi khas Madura, Jawa Timur. Tapi ternyata adapula balapan sapi di Sumatera Barat.

Bahkan tradisi turun temurun di Tanah Minangkabau ini ternyata sudah mendunia alias go internasional. Pacu Jawi namanya.

Mengutip laman tanahdatar.go.id, Rabu (2/6/2021), pacu Jawi merupakan alek anak nagari Kabupaten Tanah Datar yang dilaksanakan setiap usai panen padi.

"Namun saat ini, pacu jawi tidak lagi sekedar tradisi, melainkan telah menjadi tujuan wisatawan dari mancanegara. Ini ditunggu turis asing," mengutip penjelasan situs tersebut.

Tradisi ini merupakan bentuk rasa syukur atas panen yang diberikan sekaligus hiburan bagi masyarakat.

Perlu sepasang sapi dan seorang joki untuk memacunya. Uniknya, joki sampai harus menggigit ekor sapi-sapinya supaya mau berjalan. Jika menang, membuat nilai harga sapi saat dijual semakin mahal.

Bagi masyarakat di Kabupaten Datar, pacu jawi punya memiliki banyak makna. Salah satunya mengingatkan masyarakat untuk berjalan lurus dan mampu bekerja sama dengan baik tanpa bersinggungan.

Nilai luhur disebutkan juga terkandung di dalam tradisi ini. Selain meningkatkan silaturahim, pacu jawi juga mengenalkan adat dan budaya.

Manfaat lain ternyata pacu jawi meningkatkan harga sapi, sehingga bisa menggerakkan perekonomian masyarakat di sekitarnya.

Susah Move On Sampai Mati

Kisah Rara Anteng dan Joko Seger di Balik Ritual Yadnya Kasada

Liputan6.com 2021-06-02 22:53:57
Sejumlah orang mencoba menangkap sajen yang dilemparkan ke kawah dalam ritual Yadnya Kasada di Gunung Bromo, Probolinggo, Jawa Timur, Kamis (18/7/2019). Ritual ini diselenggarakan berabad-aba

Suku Tengger memiliki ritual unik yang selalu dilaksanakan tiap tahun. Ritual itu adalah Yadnya Kasada yang puncaknya digelar di Gunung Bromo.

Ritual ini selalu diikuti masyarakat suku Tengger yang merupakan keturunan dari Rara Anteng dan Joko Seger yang kini menempati 4 wilayah, yaitu di Kabupaten Malang, Pasuruan, Probolinggo dan Lumajang.

Yadnya Kasada dilaksanakan untuk menyampaikan bentuk syukuran berupa tumpeng dan hasil bumi yang disajikan ke kawah puncak Gunung Bromo pada bulan Kasada hari ke-14 menurut penanggalan Jawa.

Selain itu, tidak hanya masyarakat saja yang melaksanakan ritual ini, namun juga dibantu pihak pemerintah dari Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BB TNBTS).


Kisah Rara Anteng dan Joko Seger

Sejarah Gunung Bromo tidak dapat dipisahkan akan kisah pasangan Rara Anteng dan Joko Seger. Asal muasal nama suku Tengger pun diambil dari nama keduanya.

Pasangan ini membangun pemukiman dan kemudian memerintah di kawasan Tengger dengan sebutan Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger, yang mempunyai arti "Penguasa Tengger yang Budiman". Namun dalam kehidupannya, pasangan ini tidak memiliki anak.

Maka dari itu Rara Anteng dan Jaka Seger pun melakukan semedi kepada Sang Hyang Widhi. Lalu tiba-tiba ada suara gaib yang mengatakan bahwa semedi mereka akan terkabul namun dengan syarat bila telah mendapatkan keturunan, anak yang bungsu harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo.

Pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger menyanggupinya dan kemudian didapatkannya 25 orang putra-putri. Akan tetapi, namanya naluri orangtua tetaplah tidak tega bila kehilangan putra-putrinya.

Pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger lalu ingkar janji. Dewa menjadi marah dengan mengancam akan menimpakan malapetaka. Kemudian terjadilah prahara keadaan menjadi gelap gulita, kawah Gunung Bromo menyemburkan api.

Kesuma, anak bungsunya lenyap dari pandangan terjilat api dan masuk ke kawah Bromo. Bersamaan hilangnya Kesuma terdengarlah suara gaib, "Saudara-saudaraku yang kucintai, aku telah dikorbankan oleh orangtua kita dan Sang Hyang Widhi menyelamatkan kalian semua. Hiduplah damai dan tentram, sembahlah Sang Hyang Widhi. Aku ingatkan agar kalian setiap bulan Kasada pada hari ke-14 mengadakan sesaji kepada Sang Hyang Widhi di kawah Gunung Bromo."

Akhirnya, kebiasaan ini diikuti secara turun temurun oleh masyarakat Tengger dan setiap tahun diadakan upacara Yadnya Kasada di Poten lautan pasir dan kawah Gunung Bromo.


Berebut Sesaji

Ritual Yadnya Kasada ini tidak dapat lepas dari legenda Rara Anteng dan Jaka Seger yang bersemedi untuk meminta keturunan kepada Sang Hyang Widhi. Meski telah menghindari untuk mengorbankan anaknya, tetap saja anak bungsu bernama Kusuma hilang dijilat api dan masuk ke kawah Gunung Bromo.

Lalu ritual ini pun akhirnya selalu dilaksanakan pada bulan Kasada hari ke-14 setiap tahunnya oleh masyarakat suku Tengger.

Menilik dari sejarah, diadakannya ritual Yadnya Kasada pada bulan Kasada hari ke-14 pada penanggalan Jawa ini agar terhindar dari musibah dan marabahaya. Dan juga menyampaikan pesembahan kepada Sang Hyang Widhi ke kawah puncak Gunung Bromo.

Dalam ritual ini diikuti oleh masyarakat keturunan Rara Anteng dan Jaka Seger yang menempati wilayah Tengger di 4 lokasi Kabupaten, yaitu Lumajang, Probolinggo, Pasuruan dan Malang.

Sesaji dan barang persembahan yang dilarung di kawah puncak Gunung Bromo ini ternyata diperebutkan oleh banyak orang, usai tokoh masyarakat dan suku tengger memanjatkan doa meminta keselamatan dan berkah.

Makanan lauk pauk yang jadi bagian sesaji diletakan di bibir kawah, lalu ditancapkanlah dupa di atasnya. Saat sesaji dilemparkan ke dalam kawah beberapa orang telah bersiap di lereng kawah puncah Gunung Bromo dengan membawa alat seperti jaring untuk memperebutkan sesaji.

Bersatu dengan Sang Pencipta

Keindahan Tari Saman dari Aceh yang Penuh Makna

Liputan6.com 2021-06-03 09:03:00
Tari saman dari Aceh yang memesona dan penuh makna (dok.Liputan6.com)

Indonesia tak hanya memiliki keindahan alamnya, tapi juga budayanya. Salah satu budaya itu adalah tari saman yang telah mendunia.

Tari saman telah dinobatkan sebagai salah satu warisan budaya dunia bukan benda oleh UNESCO pada 24 November 2011. Selain bernilai estetika, tarian satu ini menjadi sarana kemanunggalan antara hamba dengan Sang Pencipta.

Syair-syair yang berasal dari kalam Ilahi diikuti pesan dakwah kerap diselipkan atau wajib ada, di dalam tarian ini. Unsur spiritual atau konsep keagamaan yang ada di dalamnya membuat tarian ini sakral, bahkan dianggap mistis oleh sebagian orang.

Syair ini mengingatkan kembali pentingnya tidak bersifat sombong terhadap orang lain. Kesombongan hanya akan membawa akibat berupa penderitaan pada diri sendiri.

Dalam gerakannya yang cenderung terbatas dan sederhana, itu tari saman membawa penarinya dalam kondisi ekstase. Tak ubah tarian sufi yang dipraktikkan oleh ordo Dervish dan Mevlevi.

Sejarah asal muasal tari saman lebih banyak disampaikan secara lisan atau dari mulut ke mulut, yang dalam bahasa Gayo dikenal dengan "kn bekn", artinya, konon kata orang.

Banyak pula yang yakin saman telah ada sebelum Belanda datang ke Aceh. Alasannya, kata 'saman' tercantum dalam kamus Gayosche - Nederlandech Wooddenboek met Nederlandsch - Gajosch Register, Batavia : Landsrukkerij Hazeu, tahun 1907.

Dalam penelitiannya mengenai tari saman, Mahasiswa UIN Ar-Raniry, Habibi Muttaqin, mengungkap, kata 'saman' berasal dari salah seorang ulama Tarekat Sammaniyah. Ulama ini terinspirasi dari tarian masyarakat Gayo yang dikenal dengan nama Pok Ane-Ane.

Sumber lain menyebutkan, tari saman berasal dari jazirah Arab. Itu merujuk sejarah bahwa tarian ini awalnya dilakukan oleh delapan orang sehingga dinamai 'saman', tetapi, pendapat ini diragukan banyak pihak, karena nilai estetis saman malah terletak pada jumlah penarinya yang ganjil.

Penari saman umumnya laki-laki. Gerakan tari saman terpusat pada kesejajaran para penari dalam garis saf, yang duduk bersimpuh seperti orang sedang tasyahud dalam gerakan salat. Syair yang dinyanyikan antara lain, pembukaan disebut rengum, diikuti penari disebut dering.

Baju yang dikenakan penari bermotif kerawang gayo. Jenis properti yang dipakai antara lain, bulang teleng atau kerawang bertajuk, ikotni rongok atau saputangan, sensim ketip, dada kupang atau kalung, tajuk kiping, dan gelang.

Tari saman ditarikan oleh satu kelompok penari saja. Namun, adakalanya dua kelompok penari dari sanggar atau kampung yang berbeda diadu, yang disebut dengan saman jalu.

Dalam perkembangannya, tari saman lebih beragam dan memiliki variasi yang berbeda-beda, baik dari segi gerakan, lagu, hingga formalitasnya, antara lain, saman jejunten, njik, ngerje atau kumah sara, dan bejamu besaman atau saman jalu.

Lumpur Penebus Dosa

Mandi Lumpur, Ritual Sakral Bersihkan Diri di Pulau Dewata Bali

Liputan6.com 2021-06-03 01:28:02
Mandi Lumpur di Bali (AFP)

Mandi lumpur menjadi ritual unik membersihkan diri di Pulau Dewata. Umat Hindu di Bali mengikuti tradisi sakral ini yang disebut mebuug-buugan.

Tradisi ini sarat dengan makna filosofi. Mebuug-buugan berasal dari kata Buug yang artinya tanah atau lumpur. Lumpur dianggap sebagai perlambang hal-hal buruk dan kotor.

Tradisi ini bermakna membersihkan diri dari dosa-dosa yang telah dilakukan. Ritual mandi lumpur dilakukan sehari setelah Nyepi, saat merayakan Hari Ngembak Geni.

Pria, wanita, anak-anak, orang dewasa, hingga kakek nenek mengenakan busana adat. Mereka memulai acara dengan berdoa bersama.

Setelah itu mereka berjalan bersama sambil menyanyi, menyusuri hutan mangrove untuk mandi lumpur. Setibanya di lokasi, mereka berendam di lumpur.

Canda tawa riang kerap terdengar saat ritual mandi lumpur dilakukan. Anak-anak dan remaja saling menumpukkan lumpur di tubuh maupun kepala.

Setelah mandi lumpur, mereka berarak-arak menuju pantai. Lalu bermain dan menari. Kemudian bersama-sama masuk ke dalam air dan membersihkan lumpur dari seluruh tubuh.

Setelah bersih dari lumpur, mereka menuju Puri untuk bersembahyang. Saat beribadah, mereka menerima percikan air suci atau tirta. Kemudian kembali ke rumah masing-masing.

Ritual Purba yang OK Punya

Ritual Purba Suku Baduy Dalam yang Masih Eksis Sampai Sekarang

Liputan6.com 2021-06-03 14:25:34
Upacara adat Suku Baduy yang sampai sekarang masih terus dilestarikan. Foto: Merdeka.com

Suku Baduy yang tinggal di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar merupakan masyarakat yang menarik diri dari hiruk pikuk dunia modern. Mereka menolak semua hal yang berhubungan dengan modernitas, mulai dari listrik, radio, televisi, motor, jaringan internet dan bahkan mereka menolak sekolah formal. Suku Baduy memegang erat konsep "keapadaan" yang berarti apa adanya.

Namun dengan adat dan budaya yang telah beratus-ratus tahun diyakini itu, suku Baduy Dalam yang terisolasi itu sampai sekarang tak ada warganya yang terpapar virus Corona. Apalagi selama pandemi ini, wisata adat ke kampung Baduy dalam ini ditutup.

Wilayah Suku Baduy yang berada di lereng gunung ini mempunyai panorama alam yang memukau. Kondisi alamnya yang tetap terjaga menarik banyak traveler. Namun sayang di kampung Baduy Dalam, para traveler hanya diperkenankan menginap maksimal satu malam saja.Kenapa, ketika ditanyakan ke salah seorang warga Baduy Dalam, dia menjawab tidak tahu.

Tampaknya orang Badui Dalam sifatnya tertutup untuk hal-hal yang berhubungan dengan adat-istiadatnya. Ada beberapa tabu atau rahasia yang tidak boleh diketahui orang luar baduy, apalagi orang asing. Namun mereka sangat ramah menyambut tamu. Jika kita ingin datang ke Baduy Dalam, beberapa warga akan menjemputnya di wilayah Baduy Luar.

Dari area penjemputan ini kita akan berjalan menyusuri jalan setapak, naik turun, berkelok dan licin. Warga desa yang diperkirakan berjumlah sekitar 26 ribu orang ini mempunyai beragam adat budaya yang unik. Salah satu ritual yang mereka lakukan adalah upacara Ngadiukeun, yakni upacara menyimpan padi ke dalam lumbung. Di Kanekes, lumbung-lumbung padi dibangun di pinggiran kampung.


Beda Indung dengan padi biasa

Mulyono, salah satu warga Baduy menjelaskan, Upacara Ngadiukeun itu semacam memasukkan padi pertama (indung) ke lumbung atau leuit. Sebenarnya bisa saja memasukkan padi sebelum indung dimasukkan ke lumbung. Tapi hal ini dianggap belum sah, baru setelah indung dimasukkan ke lumbung ritual menyimpan padi ini dianggap sah.

Apa bedannya Indung dengan padi-padi yang lain?

Orang Baduy memperlakukan padi Indung secara khusus dan hati-hati. Padi indung dilengkapi dengan daun-daun yang mempunyai makna khusus. Daun-dauin itu adalah daun teureup, tumbosi, cariang, ilat. di ikat sama padinya.

"Padi yang akan dijadikan Indung, ketika dipanen harus dibawa pulang dengan jalan kaki, sejauh apapun ladangnya dari rumah. tidak boleh memakai kendaraan, motor atau mobil. Sesampai di rumah indung harus dirwat, dibungkus pakai kain agar tetap dalam kondisi baik, sebelum dipakai untuk ritual ngadiekeun. jika sampai dimakan tikus misalnya, artinya kita telah lalai dalam menjalankan tugas dan akan berakibat kegagalan dalam panen berikutnya. atau hal itu juga merupakan sebuah petunjuk bahwa ada kesalahan kita secara batin, " tambahnya pada Liputan6.com, Kamis (3/6).

Sebenarnya, indung itu padingya tidak telalu banyak, satu hanya satu iket kecil, tidak seperti ikatan padi yang biasa. Dalam ritual upacara Ngadiukeun mereka membakar kayu gaharu yang diambil di tengah hutan. Selain itu ada hal-hal rahasia yang tak ia bisa ceritakan.

Satai Ayam untuk Fashion

Super Kreatif, Satai Ayam Madura di Kostum Miss Grand Indonesia

Liputan6.com 2021-06-02 13:28:36
Miss Grand Indonesia 2020 Aurra Kharisma dalam kostum bertema satai madura. (dok. Instagram @aurrakharishma/ https://www.instagram.com/p/CHnLALeAqYT/?igshid=ifahuhpisa7n / Melia Setiawati)

Keberagaman kebudayaan Indonesia menjadi tantangan tersendiri. Seperti bagi para desainer dari Jember Fashion Carnaval yang kali ini diuji menuangkan ide kreativitas mereka.

Para desainer ditantang merancang kostum unik tapi berunsur Indonesia yang kuat untuk ditampilkan oleh Miss Grand Indonesia 2020 Aura Kharisma di final Miss Grand International pada Maret 2021.

Akhirnya tema panganan satai dari Madua muncul sebagai ide. Kostum tersebut dinamai The Edacious of Chicken Satay.

Tusuk-tusuk satai menjadi detail utama pada kostum tersebut, ditaruh di mahkota hingga menghiasi ornamen piring yang seolah menjadi sayap. Sementara, bagian belakang dipasangi tusuk bambu yang menjadi ciri khas satai madura.

"Kostum satai ini merupakan sebuah kolaborasi antara Bang Ivan Gunawan dengan Jember Fashion Carnaval. Tema satainya sendiri ini mengangkat tema satai Madura," kata Iwan, President Jember Fashion Carnaval, kepada Liputan6.com, seperti dikutip Rabu (2/6/2021).

Kompetisi Miss Grand International 2021 berlangsung di Phuket, Thailand. Ivan Gunawan merupakan salah satu petinggi Yayasan Dunia Mega Bintang yang memegang lisensi ajang Grand Indonesia.

Iwan menjelaskan, awalnya ada beberapa pilihan yang diberikan Ivan Gunawan untuk membuat kostum yang dikenakan di Miss Grand International. Satai madura menjadi yang terpilih karena dianggap menarik, simpel, dan fun.

Pembuatan kostum tersebut melibatkan enam seniman yang bergabung dalam tim kreatif Jember Fashion Carnaval (JFC). Pengerjaannya membutuhkan waktu kurang lebih selama enam bulan, mulai dari Mei hingga Oktober 2020.

"Filosofi dari kostum sate tersebut diangkat karena Indonesia yang kaya akan kebudayaannya mulai dari budaya, keyakinan, alam, kepulauannya, termasuk dalam hal ini kekayaan kulinernya," ucap Iwan.

Iwan mengungkapkan material yang digunakan dalam kostum satai madura itu dari bermacam macam jenis kain. Bahan-bahannya didapat dari Surabaya, lalu dirangkai di workshop JFC Jember.

"Beratnya sekitar 12 kilogram," kata Iwan. Aurra Kharisma bahkan sudah menjalani sesi pemotretan dengan kostum tersebut.

Jember Fashion Carnaval atau yang biasa disebut JFC ini merupakan event karnaval tahunan berskala internasional yang digelar sejak 2003. Agenda itu setiap tahun digelar di Jember, Jawa Timur.

Jenis karnaval yang diusung JFC adalah karnaval busana dengan bermacam tema yang beragam. Mulai dari tumbuhan, hewan, makanan, bangunan, dan mengusung kemiskinan.

Pada 17 April 2019, tim kehilangan Dynand Fariz selaku Presiden sekaligus pendiri JFC. Sejak itu, perjuangannya dilanjutkan oleh para penerusnya. (Melia Setiawati)


Saksikan Video Ini

Pacuan Kuda tanpa Pelana

Keberanian Para Joki Cilik di Arena Pacuan Kuda Gayo

Liputan6.com 2021-06-03 11:03:00
Tradisi pacuan kuda di Gayo, Takengon, Aceh Tengah, yang diikuti para joki cilik yang gagah berani (Chaideer Mahyuddin/AFP)

Aceh Tengah yang beribu kota Takengon tak hanya memiliki destinasi wisata yang eksotis, tapi juga kaya tradisi masyarakatnya. Dari banyak tradisi yang ada, salah satunya pacuan kuda.

Takengon dikenal dengan berbagai julukan, di antaranya Negeri di Atas Awan. Takengon juga dijuluki sebagai Dataran Tinggi Tanoh Gayo dan Negeri Antara.

Setiap ajang tradisi pacuan kuda digelar, masyarakat membanjiri kota Takengon untuk menyaksikan ajang tersebut. Pacuan kuda tradisional itu biasanya diselenggarakan dua kali selama setahun di Kabupaten Aceh Tengah, yaitu memperingati HUT Kota Takengon dan HUT RI.

Melansir dari acehprov.go.id, salah satu tempat yang dipilih sebagai lokasi pacuan kuda adalah Gelenggang Musara Alun. Letak persisnya di jantung kota Takengon ibukota Kabupaten Aceh Tengah.

Kondisi lintasan tampak sangat berbahaya. Di sepanjang lintasan yang dibuat melingkar, hanya dibatasi oleh rotan. Perhatian masyarakat bertumpu seluruhnya ke arena pacuan kuda tersebut.

Pacuan kuda di Takengon ini sudah sejak zaman kolonial belanda diselenggarakan. Utamanya setelah para petani memanen hasil pertanian.

Uniknya, para jokinya disebut joki cilik umumnya masih duduk di bangku SMP. Saat menunggang kuda tersebut, mereka tanpa mengenaka pelana.

Selain tradisi pacuan kuda yang juga terkenal di dunia, Takengon juga terkenal dengan hasil pertaniannya, yaitu kopi gayo yang diekspor ke mancanegara. Rasanya ada yang belum lengkap bila wisatawan belum berkunjung dan menyaksikan acara ini.

Tolak Bala Jelang Dewasa

Tolak Bala Jelang Dewasa di Pulau Dewata

Liputan6.com 2021-06-03 12:30:03
 

Tradisi Mepandes, Mepanggih, Metatah, atau potong gigi merupakan salah satu kegiatan upacara keagamaan masyarakat Bali yang mayoritasnya memeluk agama Hindu.

Tradisi Metatah ini dilakukan sebagai penanda bagi umat Hindu yang telah memasuki usia dewasa dengan cara memotong gigi.

Namun, meski disebut dengan potong gigi, bukan berarti gigi tersebut dipotong hingga habis. Gigi akan dikikir kurang dari 2 milimeter agar terlihat lebih rapi.

Setelah itu, gigi yang telah dipotong diletakkan pada sebuah kain berwarna cokelat kekuningan yang telah didoakan bersama dengan sepiring sesaji.

Setiap orang yang mengikuti Tradisi Metatah akan berada pada masa cuntaka yang berarti tak suci. Oleh karena itu, mereka akan disucikan dalam tradisi potong gigi tersebut.

Saat gigi dikikir, orang dewasa yang mengikuti ritual ini diminta untuk mencicipi enam rasa, mulai dari rasa pahit dan manis, asam, pedas, sepat, hingga manis. Setiap rasa yang dicicipi tersebut memiliki makna yang tersirat.

Rasa pahit dan asam sebagai simbol agar tabah menghadapi kehidupan yang keras. Lalu, rasa pedas sebagai simbol kemarahan agar setelah melakukan Metatah akan senantiasa sabar.

Rasa sepat dimaknai sebagai simbol agar taat pada peraturan yang ada. Serta rasa asin yang menandakan kebijaksanaan, sedangkan rasa manis sebagai penanda kehidupan yang bahagia.


Tujuan dan Arti Tradisi Potong Gigi

Tradisi potong gigi di Bali ini bertujuan untuk menghilangkan keburukan dalam diri dengan wujud bhuta, kala, pisaca, raksasa.

Wujud tersebut berarti jiwa dan raga yang diliputi oleh watak Sad Ripu agar dapat menemukan hakikat manusia yang sejati setelahnya.

Sad Ripu merupakan enam jenis musuh yang datang dari perbuatan yang tidak baik dalam diri manusia. Enam musuh tersebut, yakni kama, loba, krodha, mada, moha, dan matsarya.

Kama memiliki arti hawa nafsu tak terkendalikan. Lalu loba berarti sifat ketamakan. Krodha, marah yang melampaui batas, dan mada berarti mabuk.

Sad Ripu yang selanjutnya yaitu moha yang berarti kebingungan dan kurang konsentrasi sehingga tak dapat menyelesaikan tugas dengan baik. Terakhir yakni matsarya atau sifat iri hati.

Tak hanya itu, tradisi ini diartikan juga sebagai pembayaran hutang orangtua kepada anaknya karena telah dapat menghilangkan enam sifat buruk manusia.

Saat tradisi dilakukan, orangtua akan memberikan sebuah nasihat yang menuntun anaknya agar dapat menjadi pribadi yang lebih dewasa.

Setiap peserta yang akan mengikuti Tradisi Metatah diwajibkan menggunakan pakaian adat Bali, Payang Agung.

Pakaian ini memiliki corak Pulau Dewata yang khas, mewah, serta berkelas. Mereka akan tampil dengan bagian rambut yang disanggul dan dihiasi dengan mahkota berbahan emas nan mewah.

Menariknya, bagi wanita hamil tidak diizinkan untuk mengikuti tradisi ini. Menurut kepercayaan yang ada, wanita hamil sedang membawa janin suci. Sedangkan orang-orang yang tengah mengikuti Tradisi Metatah sedang tidak suci.


Artis Nora Alexandra Pernah Lakukan Tradisi Potong Gigi

Nora Alexandra menjadi menarik perhatian publik usai beredarnya kabar ia menikah dengan Jerinx SID.

erempuan blasteran Swiss-Indonesia ini pun telah menjalani upacara potong gigi.

"Potong gigi adalah upacara keagamaan Hindu-Bali bila seorang Anak sudah beranjak dewasa, diartikan juga pembayaran hutang oleh Orang Tua ke Anaknya karena sudah menghilangkan keenam sifat buruk dari diri manusia," jelas Nora dalam unggahannya, Selasa, 6 Agustus 2019 silam.

"Upacara ini termasuk apa yang disebut dengan istilah upacara manusia yadnya," lanjut Nora.

(Cinta Islamiwati)


Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Mistis Banyuwangi pada Tari

Tari Gandrung, Khas Banyuwangi Jawa Timur Wujud Rasa Syukur

Liputan6.com 2021-06-03 02:44:27
Tari Gandrung Khas Banyuwangi, Jawa Timur (AFP)

Tari Gandrung merupakan salah satu ikon Jawa Timur, khas Banyuwangi. Awal mula tarian gandrung ini dilakukan sebagai wujud rasa syukur kepada Dewi Sri sang Dewi Padi. Tarian ini diadakan setelah menuai padi.

Pertunjukan tari Gandrung disajikan dengan iringan musik khas perpaduan budaya Jawa dan Bali. Kini tari Gandrung sering dipentaskan untuk acara perkawinan, petik laut, khitanan, tujuh belasan dan acara-acara resmi maupun tak resmi lainnya.

Tari Gandrung awalnya ditarikan para pria yang didandani seperti perempuan. Namun seiring waktu, lebih sering ditarikan kaum perempuan.

Para penari memakai hiasan serupa mahkota di kepala yang disebut omprok. Terbuat dari kulit kerbau yang disamak dan diberi ornamen berwarna emas dan merah. Juga diberi ornamen tokoh Anthasena, putra Bima yang berkepala manusia raksasa dan berbadan ular.

Tarian ini juga bisa dilakukan berpasangan antara wanita sebagai penari gandrung dan pria selaku pemaju yang dikenal sebagai paju. Tari Gandrung dibagi menjadi beberapa tarian, yaitu Jejer Gandrung, Paju Gandrung, Seblang Lukinto, Seblang Subuh, Gandrung Dor, Gandrung Marsan, Gama Gandrung dan Jaripah.

Beberapa pembagian tersebut dibagi berdasarkan babak pertunjukan, musik atau yang sifatnya dramatis dan mistis. Dalam pertunjukannya, diiringi dengan musik khas, yaitu Gamelan Osing.

Dahulu kala, Tari Gandrung menjadi pemersatu masyarakat setelah kalah perang melawan Belanda. Lewat tarian ini, masyarakat mengunjungi kerabatnya yang tinggal berpisah pasca-perang. Kemudian masyarakat mengajak kerabatnya mendirikan permukiman baru yang kini dikenal sebagai Kota Banyuwangi.

Lalu seiring perkembangan zaman, tarian ini dibawakan sebagai rasa syukur setiap masa panen. Kini Tari Gandrung wajib dibawakan dalam acara festival kesenian tahunan di Banyuwangi.

Bebas Mandi Bareng Saat Balimau

Mengenal Balimau, Ritual Unik Sambut Ramadan di Sumatera Barat

Liputan6.com 2021-06-02 22:22:22
Prosesi Balimau di Sumatera Barat menyambut datangnya Ramadan. (AFP)

Setiap hari terakhir bulan Sya'ban, banyak daerah di Sumatera Barat melakukan prosesi Balimau. Ritual itu dilakukan sebagai ungkapan gembira menyambut datangnya Ramadan.

Balimau dilaksanakan dengan berbagai tradisi, yang tetap mengacu pada adat Basandi Syarak. Di Kabupaten Pesisir Selatan, Balimau digelar berbeda dengan yang dilakukan di banyak tempat di Sumatera Barat.

Sebagian masyarakat Pesisir Selatan dan anak-anak muda pergi bermandi-mandi ke sungai, bercampur baur. Balimau diartikan sebagai acara mandi-mandi di tempat pemandian umum, seperti dikutip dari laman resmi Kabupaten Pesisir Selatan, Rabu (2/6/2021).

Pada masing-masing daerah di Pesisir Selatan, istilah Balimau dikenal dengan beberapa sebutan. Ada yang menyebut Balimau Paga, Balimau Turun ke Air, dan Ptang Balimau. Meski begitu, prinsipnya Balimau tetap sama yakni proses puncak pembersihan diri dari apa yang telah dilakukan selama bulan Sya'ban untuk memasuki bulan suci Ramadan.

Saat ritual berlangsung, para penghulu, ninik mamak, cadiak pandai, dan masyarakat hadir di suatu tanah lapang di pinggir sungai setelah shalat Ashar. Tiap kaum atau suku membawa satu atau dua 'bawaan' limau yang dihiasi dengan tradisi suku masing masing.

Pada setiap bawaan akan diberi tanda, bahwa limau tersebut merupakan bawaan dari suku masing masing. Limau yang dibawa bukanlah yang aneh-aneh, tapi tetap dalam konteks limau keseharian kita, yakni asam limau purut atau asam biasa, yang sudah direndam dalam suatu wadah, bunga rampai dan dauh-daunan pengharum, serta bedak beras.

Bawaan ini di arak dari masjid besar di nagari menuju pinggir sungai tempat berlangsungnya acara. Dan biasanya diiiringi dengan talempong dan berbagai kesenian anak nagari, tanda gembira menyambut datangnya Ramadan.


Ptang Balimau

Di Inderapura Kecamatan Pancung Soal, di bekas ibu kota kerajaan Inderapura tempo dulu, prosesi Balimau disebut Ptang Balimau. Acara itu dilakukan dengan proses budaya yang menampilkan berbagai kekayaan ritual dan pusaka bekas kerajaan. Sangat meriah.

Berbagai lapisan masyarakat turun dan ikut menyaksikan dan sekaligus ikut Balimau. Ada banyak undangan dari luar daerah, terutama daerah-daerah bekas bagian dari kerajaan Indrapura masa lalu, seperti dari Muko-moku, Kerinci, dan Sungaipenuh.

Pada acara Ptang Balimau ini hadir semua unsur kerajaan. Penghulu yakni Rangkayo nan duopuluh memakai pakaian kebesaran, para imam kerajaan, bundo kanduang, dubalang kerajaan. Pihak yang mewakili keturunan kerajaan memakai pakaian kebesaran raja tempo dulu dilengkapi tombak jangguik tinggi, diarak dengan menggunakan talempong, rabana, dan puput khas kerajaan. Dalam hal ini, karena Raja di kerajaan Inderapura tidak hanya sebagai kepala negara dan pemerintahan tetapi juga sebagai kalifatullah, pengayom dan pembela agama Islam sebagai agama kerajaan.

Di dahului bawaan bundo kanduang dari masing-masing suku, puput khas kerajaan dan pukulan beduk. Sedangkan di belakang raja berbaris rapi para rangkayo nan duo puluh, prajurit kerajaan, pengawal kerajaan, dan masyarakat umun.


Makan Bajamba

Prosesi ini dimulai dengan makan bajamba di pelataran mesjid agung kerajaan, masjid yang dibangun pada tahun 1517 yang lalu, oleh Raja-Raja Inderapura. Mesjid ini masih megah dan terawat hingga saat ini. Semua rangkayo, raja, keluarga raja, undangan dan masyarakat makan bersama terlebih dulu, dengan bersila, yakni 'duduk sama randah, tagak samo tinggi'.

Setelah selesai makan dilanjutkan dengan pelepasan prosesi oleh imam kerajaan: berbaris, berjalan menuju pelabuhan Muarasakai. Sesampai di pelabuhan dilakukan upacara yang didahului dengan tampilan berbagai acara kesenian masa lalu yang terpelihara hingga saat ini.

Pada prosesi ini ditampikan pepatah petitih khas Inderapura, penampilan tari kain yang legendaris itu, tari betan, tari sikambang, tari babui, dan tari dindin. Tari-tari ini tidak atau jarang dikenal dalam tari tradisi minangkabau di tempat lain. Ini pertanda bahwa kerajaan Inderapura kaya dengan tradisi yang tidak ada di tempat lain di Sumatera Barat.

Ondel-Ondel Digusur

Tergusur karena Uzur

Liputan6.com 2021-06-03 13:29:29
Sampai kapan ondel-ondel akan bertahan?

Keberadaan Ondel-ondel Betawi makin hari makin terlupakan. Ikon budaya Jakarta, ibu kota NKRI Harga Mati ini pun pelan-pelan tergusur. Tak hanya oleh serbuan budaya baru, budaya digital, tapi juga karena serangan virus yang menghalangi orang-orang untuk berkerumun.

Ada yang menyebutkan, Ondel-Ondel telah eksis ejak sebelum 1600 Masehi. Saat itu boneka raksasa yang selalu tampil berpasangan ini sering muncul di acara adat, upacara perkawinan, dan perayaan lainnya. Seperti yang ditulis seorang pedagang sekaligus pelancong Inggirs, W Scot. Dia menyampaikan, terdapat sebuah kebudayaan unik yang berwujud boneka raksasa yang ditampilkan dalam sebuah upacara adat.

Mengenai asal-usulnya, ada beberapa versi. Konon boneka raksasa yang wajahnya cukup seram ini dipakai sebagai penolak bala atau gangguan roh halus yang gentayangan atau ketika sedang terjadi wabah penyakit. Namun tampaknya, Ondel-Ondel di era digital ini sudah keok, tak mampu lagi mengadang wabah Covid 19 yang telah berlangsung dua tahun ini..

Ondel-Ondel sebenarnya juga menyimpan nilai-nilai filosofis yang bisa dijadikan pegangan hidup hingga sekarang. Wajah merah laki-laki simbol keberanian menghadapi tantangan yang dinamis, sementara wajah putih perempuan sebagai lambang kesucian. Entah apakah lambang bendera merah putih terinspirasi dari sini atau hanya kebetulan saja sama. Pasangan Ondel-Ondel yang tak pernah berpisah ini punya nama Kohar dan Bohar.


Dipakai untuk peresmian hotel

Pada perjalanannya, ondel-ondel makin populer. Mereka sering dipakai dalam sebuah perayaan dan pertunjukan. Tercatat pada pembukaan sayap baru Hotel des Indes (dibongkar pada tahun 1980-an) tahun 1923. Boneka raksasa berambut kembang kelapa ini juga sempat populer dipakai pada pertunjukan-pertunjukan. Terutama di Monumen Nasional (Monas).Sebelum pandemi menyerang, ketika kita ke Monas, akan ada beberapa anak-anak muda yang "menyewakan" ondel-ondelnya untuk berfoto bersama, lalu di-posting di media sosial.

Namun sejak beberapa tahun terakhir, ondel-ondel mulai turun ke jalan-jalan. Mereka bermetamorfose dalam bentuk pengamen. Beberapa ruas jalan, seperti di Rempoa, Jakarta Selatan, sering melintas rombongan pengamen yang memakai Ondel-Ondel sebagai sarana untuk menghibur. Mereka biasanya terdiri dari para remaja atau kadang masih anak-anak.

Dengan iringan suara dari speaker di dalam gerobak yang membahana, para pengamen ini menyusuri jalanan, mampir di warung-warung kaki lima untuk menghibur para pelanggannya. Namun makin lama, tampaknya kehadiran mereka dikeluhkan banyak warga, sehingga akhirnya para pengamen itu dilarang beroperasi. Menurut Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria larangan ini bertujuan untuk melestarikan budaya Betawi ini dengan cara yang lebih bermartabat.

Lalu Ondel-Ondel hilang dari jalanan, tak pernah muncul lagi. Juga tak hadir di pertunjukan dan perayaan karena dampak pandemi. Ondel-ondel kini bak sosok uzur yang tak "relate" lagi dengan kondisi kekinian. Sanggupkah beradaptasi agar tak terpinggirkan? Atau akan tersimpan di dalam museum kebudayaan dan kenangan? Kita tunggu langkah konkret Pak Wakil Gubernur yang berjanji untuk membuat Ondel-Ondel tetap eksis.