Terdakwa suap dan tindak pidana pencucian uang terkait pengurusan fatwa Mahkamah Agung untuk Djoko S Tjandra, Pinangki Sirna Malasari saat sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (7/12/20
Vonis Mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung (Kejagung) Pinangki Sirna Malasari disunat dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara.
Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memotong 6 tahun vonis jaksa yang menerima suap dan membantu buronan Djoko Soegiarto Tjandra itu. Setidaknya ada lima alasan yang dijadikan dasar pemotongan vonis terhadap Pinangki.
Salah satu alasan PT DKI Jakarta memotong vonis Pinangki yakni karena memiliki anak kecil yang masih membutuhkan perhatian seorang ibu. Anak Pinangki masih balita, yakni usia 4 tahun.
Alasan lain yakni lantaran Pinangki menyesali perbuatannya, rela dipecat dari profesinya sebagai jaksa, serta Pinangki adalah seorang wanita yang harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil. Keempat, perbuatan Pinangki tidak terlepas dari keterlibatan pihak lain yang turut bertanggung jawab, sehingga kadar kesalahannya memengaruhi putusan ini.
Alasan kelima, tuntutan pidana jaksa penuntut umum selaku pemegang azas Dominus Litus yang mewakili negara dan pemerintah dianggap telah mencerminkan rasa keadilan masyarakat.
Pinangki memang dituntut 4 tahun oleh jaksa di Kejagung. Namun, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor mengesampingkan tuntutan jaksa dan memvonis Pinangki selama 10 tahun. Pinangki tak terima dan mengajukan banding ke PT DKI Jakarta dan berbuah manis, vonis Pinangki serupa dengan tuntutan jaksa.
Adapun putusan Pinangki ini diketuk oleh ketua majelis Muhammad Yusuf dengan anggota Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Reny Halida Ilham Malik.
Padahal, pada pengadilan tingkat pertama, hakim menyatakan Pinangki terbukti menerima suap, melakukan pencucian uang dan melakukan pemufakatan jahat terkait pengurusan fatwa Mahkamah Agung untuk Djoko Tjandra. Pinangki terbukti menerima duit US$ 500 ribu, lalu menggunakannya untuk membeli mobil, pembayaran apartemen dan operasi kecantikan di luar negeri.
Punya Balita
Pertimbangan hakim yang memperingan hukuman Pinangki terkait masih memiliki anak balita ini, mengingatkan kepada vonis Angelina Sondakh dalam kasus suap Wisma Atlet di Palembang. Kala itu, anak Angie masih berusia lima tahun, tanpa suami yang bisa membantu merawat anaknya karena meninggal dunia.
Pada November 2013, Angie divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor dan dijatuhi hukuman penjara 4 tahun 6 bulan. Hukuman politikus Demokrat ini diperkuat oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Namun, dalam vonis kasasi yang diajukan jaksa, hukuman Angie justru diperberat menjadi 12 tahun penjara.
Meski, pada akhirnya, hukuman Angelina Sondakh akhirnya diperingan 2 tahun. Mahkamah Agung mengabulkan peninjauan kembali yang diajukan Angelina Sondakh. Hukuman penjara terpidana kasus korupsi dalam pembangunan wisma atlet Kemenpora dan Kemendiknas itu berkurang menjadi 10 tahun dari sebelumnya 12 tahun.
Adalah almarhum Artidjo Alkostar lah yang memperberat vonis Angie dalam kasasi pertama. Artidjo memperberat hukuman Angie sesuai dengan tuntutan yang diajukan jaksa KPK, yakni 12 tahun penjara. Pertimbangannya, Angie terbukti aktif meminta uang dari Mindo Rosalina Manulang.
Sementara, pada kasus Pinangki, hakim menilai jaksa itu sudah terbiasa mengurus perkara. Hal itu terbukti dengan percakapan Pinangki dengan mantan kuasa hukum Djoko Tjandra, Anita Kolopaking. Percakapan keduanya terekam pada aplikasi WhatsApp, 26 November 2019. Mereka membicarakan soal kepengurusan grasi mantan Gubernur Riau Annas Maamun.
"Selain terkait dengan kasus Joko Soegiarto Tjandra, terdakwa sudah biasa mengurus perkara dengan bekerja sama dengan saksi Dr Anita Dewi Kolopaking, khususnya terkait dengan institusi Kejaksaan Agung dan MA," ungkap Ketua Majelis Hakim Ignatius Eko Purwanto.
Aneh
Menurut Pakar TPPU Yenti Ganarsih, pemotongan hukuman terhadap Pinangki sangat aneh. Bagaimana tidak, Pinangki dijerat dalam tiga perkara sekaligus, yakni suap, TPPU, dan pemufakatan jahat.
Putusan tersebut dinilai kian aneh lantaran majeis hakim banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tak mempertimbangkan alasan yang memberatkan. Yakni Pinangki saat melakukan tidak pidana adalah seorang penegak hukum.
"Iya, itu dia ajaib, kenapa justru pemberatnya tidak dipertimbangkan, yaitu dia sebagai aparat penegak hukum," kata Yenti kepada Liputan6.com, Selasa (15/6/2021) malam.
Tak Adil
Tak hanya itu, menurut Yenti, alasan hakim yang memotong masa hukuman Pinangki juga terbilang tak adil. Sebab, salah satu alasan yang meringankan lantaran Pinangki merupakan seorang ibu yang masih memiliki balita.
Menurut Yenti, banyak terpidana yang dijerat dengan hukumam tinggi meski memiliki balita. Seperti Angelina Sondakh yang saat divonis tengah memiliki anak balita.
"Bagaimana dengan Angelina Sondakh? Bagaimana napi yang punya anak 1 tahun? Alasan peringannya sungguh sangat aneh dan bisa dianggap tidak adil untuk terpidana lain," kata Yenti.
Selain itu, pemotongan vonis akan menjadi preseden buruk bagi pemberantasan tindak pidana korupsi ke depan. Menurut Yenti, bukan tidak mungkin dengan pemotongan tersebut menjadikan aparat penegak hukum berani menerima suap dan korupsi.
"Dan hati-hati, nanti aparat hukum akan ikut-ikutan coba-coba korupsi dan rentan disuap," Yenti menandaskan.
Merusak Akal Sehat
Sebelumnya, kritik juga datang dari Indonesia Corruption Watch (ICW). ICW tak habis pikir dengan pemotongan masa pidana eks jaksa di Kejaksaan Agung (Kejagung) Pinangki Sirna Malasari. Vonis Pinangki disunat 6 tahun, dari 10 menjadi 4 tahun oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
"ICW menilai putusan banding PT DKI Jakarta terhadap Pinangki Sirna Malasari sudah benar-benar keterlaluan," ujar peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Selasa (15/6/2021).
Menurut dia, Pinangki seharusnya menerima hukuman pidana seumur hidup. Sebab, saat melakukan tindak pidana, Pinangki merupakan seorang jaksa yang notabene merupakan penegak hukum. Hal tersebut seharusnya menjadi alasan utama pemberat vonis Pinangki.
"Selain itu, Pinangki melakukan tiga kejahatan sekaligus, yakni korupsi suap, pencucian uang, dan pemufakatan jahat. Dengan kombinasi ini saja publik sudah bisa mengatakan bahwa putusan banding Pinangki telah merusak akal sehat publik," kata Kurnia.
ICW menilai pemotongan vonis Pinangki memperlihatkan lembaga kehakiman kian tidak berpihak pada pemberantasan tindak pidama korupsi. Menurut data ICW, vonis terhadap para koruptor sepajang 2020 hanya 3 tahun 1 bulan penjara.
"Untuk itu, ICW merekomendasikan agar Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung menelusuri kejanggalan di balik putusan tersebut," kata Kurnia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Reporter: Fachrur Rozie