Erupsi Setara 10.000 Bom Atom

Seisi Bumi Jadi Saksi Kedahsyatan Letusan Gunung Krakatau pada 1883

Liputan6.com 2021-07-08 15:00:33
Ilustrasi letusan Gunung Krakatau pada 1883 (Wikipedia)

Tanda bahaya datang lebih awal: terjadi semburan awan panas di atas Gunung Krakatau pada Mei 1883. Peristiwa itu dicatat oleh seorang kapten kapal perang Jerman, Elizabeth. Dalam catatan itu, si wedus gembel meluncur sejauh 9,6 kilometer.

Dua bulan sejak peristiwa itu, laporan mengenai suara gemuruh dan awan pijar terus berdatangan. Baik dari kapal komersial maupun kapal wisata yang sengaja disewa untuk menyaksikan fenomena tersebut dari dekat.

Sementara itu, penduduk pulau-pulau di dekat Krakatau, tidak melihatnya sebagai tanda bahaya. Mereka justru menggelar semacan festival untuk merayakan 'kembang api' alami yang menghiasi langit malam.

Selanjutnya, pada siang pukul 12.53 di hari Minggu, 26 Agustus 1883, letusan permulaan menyemburkan awan gas yang bercampur material vulkanik setinggi 24 kilometer di atas Gunung Perboewatan.

"Kejang-kejang sekaratnya Krakatau berlangsung selama 20 jam 56 menit," demikian diungkap Simon Winchester dalam bukunya Krakatoa: The Day the World Exploded, August 27, 1883.

Puncak letusan mahadahsyat terjadi sehari setelahnya, Senin pagi, 27 Agustus di tahun yang sama pukul 10.02 WIB.

Empat ledakan besar terjadi memekakkan telinga orang yang berada dengan Krakatau. Sedangkan, gaungnya menggelegarkan warga Perth, Australia yang berjarak 4.500 kilometer.

Dentuman suara Krakatau setara 10.000 kekuatan bom atom yang membuat hancur Hiroshima, Jepang atau 200 megaton TNT. Tephra dan awan panas merenggut banyak nyawa di Jawa dan Sumatra sebelah barat.

Jumlah korban diperkirakan 36 ribu jiwa. Mayoritas bukan karena efek letusan secara langsung, melainkan efek turunan: tsunami.

Seperti dikutip dari situs sains LiveScience, muncul dinding air setinggi 120 kaki atau 36,5 meter, yang dipicu melesaknya Krakatau dan naiknya dasar laut.

Di bibir pantai, terdengar suara gelegar dari kejauhan. Suara itu terus mendekat, beriringan dengan gelombang laut yang datang tiba-tiba.


Panik Massal

Tsunami menerjang tanpa ampun, rumah gedek milik pribumi, maupun gedung tembok beratap merah kepunyaan bangsa Eropa di Anyer hancur lebur. Wilayah pesisir lain di Jawa dan Sumatra menemui nasib sama.

Orang-orang berlarian panik ke bukit dan memanjat tebing. Kapal uap Berouw terseret sejauh hampir satu mil ke daratan di Sumatra. Semua awaknya, yang jumlahnya 28 orang, tewas.

Kapal lainnya, Loudon, kala itu sudah menepi. Untungnya, sang nakhoda Lindemann berhasil memutar haluan kapal dan berhasil lolos.

Saat menengok ke belakang, para awak kapal menjadi saksi, kota indah tempat mereka sempat berlabuh tadi, seketika hancur. Tak ada yang tersisa di sana.

Ledakan tersebut melemparkan sekitar 45 kilometer kubik material vulkanik ke atmosfer. Menggelapkan langit yang menaungi wilayah yang berada di radius 442 km dari Krakatau.

Barograf di seluruh dunia mendokumentasikan 7 kali gelombang kejut. Dalam 13 hari, lapisan sulfur dioksida dan gas lainnya mulai menyaring jumlah sinar matahari yang bisa mencapai Bumi.


Suhu Global Turun 1,3 Derajat

Dalam lima tahun, suhu global menurun 1,3 derajat. Namun, efek atmosfer yang diakibatkan membuat pemandangan matahari terbenam yang spektakuler di seluruh Eropa dan Amerika Serikat.

Media Forbes menyebut, erupsi Krakatau, dalam beberapa aspek, adalah bencana global pertama yang tercatat dalam sejarah. Dan, berkat temuan alat komunikasi modern (telegraf), kabarnya segera tersebar ke seluruh dunia.

Jurnal Belanda, Dutch Java Bode, yang pertama mengabarkannya, pada hari yang sama saat Krakatau meletus. Sejumlah media internasional menyusul kemudian.

Kisah letusan Krakatau diabadikan dalam film, buku, dokumenter, bahkan komik. Di sisi lain, letusan Gunung Tambora 70 tahun sebelumnya, yang dampaknya lebih dahsyat hingga mampu mengubah sejarah dunia, nyaris terlupakan.

Pasca letusan tersebut, Krakatau hancur sama sekali. Mulai pada 1927 atau kurang lebih 40 tahun setelah meletusnya Gunung Krakatau, muncul gunung api yang dikenal sebagai Anak Krakatau. Ia sangat aktif dan terus bertumbuh. Akankah ia akan meletus seperti induknya? Tak ada yang bisa memastikan.

Anak Krakatau adalah satu dari 100 gunung berapi yang terus dipantau NASA melalui satelit Earth Observing-1 atau EO-1.


Saksikan Video Menarik Berikut Ini

Bikini Atoll, Bukan Bikini Bottom

Sejarah Kelam Bikini Atoll, Inspirasi Bikini Bottom di SpongeBob SquarePants

Liputan6.com 2021-07-07 23:04:20
Uji coba senjata nuklir Bravo di Bikini Atoll (Wikipedia/Public Domain/United States Department of Energy)

Konon, Bikini Bottom terinspirasi dari Bikini Atoll. Namun, tak ada makhluk-makhluk aneh seperti SpongeBob SquarePants, Patrick, atau Squidward yang ditemukan di bekas lokasi uji coba bom atom milik Amerika Serikat itu.

Pada 2017 lalu, tim Stanford University berkunjung ke Bikini Atoll, 70 tahun setelah AS mengakhiri uji coba nuklir di sana.

Mereka terkejut saat menemukan kehidupan laut berkembang dan melimpah di kawah-kawah bekas hantaman bom atom. Makhluk-makhluk di sana terbukti tangguh, meski terpapar radiasi dalam jumlah masif.

Beda halnya dengan di Chernobyl, lokasi kecelakaan reaktor nuklir terburuk dalam sejarah. Para ilmuwan menemukan hewan-hewan yang cacat atau mengalami mutasi di sana.

Tim yang dipimpin Steve Palumbi justru menemukan ekosistem beragam yang berada di dalam dan sekitar kawah bom di Bikini Atoll. Misalnya, coral atau terumbu karang sebesar mobil, juga ratusan kumpulan ikan termasuk tuna, hiu, dan kakap.

Ada juga kepiting kelapa atau coconut crab yang memetik dan mengonsumsi buah kelapa yang mengandung radioaktif.

Palumbi mengatakan, secara kasat mata, para kepiting, ikan, dan terumbu karang di Bikini Atoll terlihat normal dan sehat.

Bahkan, sejumlah terumbu karang terlihat sudah ada di sana lebih dari satu dekade. Ditemukan bukti mereka mulai tumbuh sekitar 10 tahun setelah bom-bom terakhir dijatuhkan.

"Laguna itu penuh dengan kumpulan ikan yang berkeliling di sekitar terumbu karang hidup. Anehnya, mereka justru dilindungi sejarah tempat ini, populasi ikan di sana dalam kondisi lebih baik dari tempat-tempat lainnya karena mereka tak tersentuh. Hiu-hiu jumlahnya banyak, terumbu karangnya besar-besar," kata Palumbi. Tim ilmuwan juga menyelidiki efek paparan radiasi pada DNA hewan di sana.

Karena ikan memiliki rentang hidup relatif pendek, diduga kuat ikan yang terkena dampak terburuk mati beberapa dekade yang lalu.

Sementara, ikan yang hidup di Bikini Atoll belakangan ini terpapar radiasi level rendah. Apalagi, mereka kerap berenang masuk dan keluar atol itu.

"Menjatuhkan 23 bom atom adalah hal paling merusak yang pernah kita lakukan pada laut dan segala isinya. Namun laut berjuang untuk hidup kembali," kata Palumbi.


23 Bom Atom

Bikini Atoll dikenal sebagai pulau surga di Samudra Pasifik. Itu masa lalu. Pada 1946, penduduknya diusir. Tanah yang indah itu diubah jadi lokasi uji coba bom atom.

Total ada 23 senjata nuklir yang dijatuhkan di sana, termasuk pada 1954, yang kekuatannya 1.100 kali lebih besar dari bom atom 'Little Boy' yang diledakkan di Hiroshima, yang efeknya membuat Jepang bertekuk lutut di penghujung Perang Dunia II.

Tak hanya kehancuran yang diakibatkan uji coba nuklir beruntun itu. Pada 1978 para ilmuwan memutuskan Bikini Atoll tak aman dihuni karena efek radiasi, di mana kandungan caesium-137 dalam tubuh manusia 11 kali lipat dari level aman.

Evakuasi kembali dilakukan terhadap penduduknya yang terlanjur pulang pada tahun 1970.


Operation Crossroads

Bikini Atoll menjadi lokasi pengujian bom atom yang diberi nama Operation Crossroads, yang digelar setahun setelah pemboman Hiroshima dan Nagasaki.

Pada 2016, Badan Arsip Keamanan Nasional Amerika Serikat atau US National Security Archives merilis rekaman yang diambil oleh pesawat pengintai yang terbang di atas lokasi pengujian nuklir, hanya beberapa menit setelah bom meledak.

Dalam rekaman tersebut terlihat air menggelegak dan bergolak di dasar teluk karang di mana bom diledakkan, yang menghancurkan kapal-kapal perang, beberapa dari mereka tenggelam.

Angkatan Laut AS melakukan uji coba tersebut untuk mencari tahu dampak ledakan bom atom terhadap kapal perang yang dilengkapi peralatan pelindung. Maka, US Navy kemudian menata dan menempatkan 95 kapal perang di sekitar laguna.

Awalnya, bom atom diperkirakan akan mengakibatkan kerusakan yang tak parah pada kapal-kapal perang, yang kemudian akan dibersihkan dan kembali digunakan dalam eksperimen selanjutnya.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Efek yang dihasilkan mendemonstrasikan kekuatan mengerikan dari bom atom dan menimbulkan dampak tak terduga pencemaran nuklir yang berkepanjangan.

Bom pertama, yang diberi kode 'Able', mirip dengan yang digunakan dalam pemboman Nagasaki. Bahan peledak 23 kiloton itu meledak 160 meter di atas permukaan laut dan hanya menenggelamkan sejumlah kapal yang relatif kecil. Efeknya tak terlalu bikin kaget.

Radiasinya, yang melonjak ke level mematikan, dengan cepat berangsur hilang dalam hitungan hari.

Namun, bom kedua -- yang memiliki kode 'Baker' -- membikin shock.

Bom yang diledakkan pada kedalaman 30 meter di bawah permukaan laut pada 25 Juli 1946 melontarkan kubah air di sepanjang permukaan, yang menghasilkan efek kejut yang mampu menghancurkan armada kapal.

Dua kapal perang lapis baja dan sebuah kapal induk besar tenggelam seketika, sebuah efek yang mengejutkan pihak Angkatan Laut AS. Lima bahtera besar lainnya juga karam sekali hentak.

Gunung air yang tercemar radioaktif, debu, dan puing-puing terlontar ke angkasa lalu muncrat ke seluruh laguna, membanjiri kapal-kapal yang sebelumnya tertata di sana.

Mustahil untuk mendekontaminasi kapal-kapal tersebut pada level tersebut. Bahkan, para awak yang dikirim untuk mengukur dampak dan berusaha menyelamatkan kapal-kapal itu justru terkontaminasi radioaktif.

Beberapa dari 200 babi yang ditempatkan dalam posisi berbeda di dalam kapal, sebagai bagian dari pengujian, juga jadi korban. Hewan-hewan itu mati dalam beberapa bulan.

Efek jangka panjang dari insiden tersebut tak bisa diperkirakan. Bangkai-bangkai kapal yang digunakan dalam uji coba kemudian sengaja ditenggelamkan, dianggap terlalu berbahaya untuk digunakan kembali.

Erupsi Gunung di Indonesia, Malapetaka di Eropa

Gunung Tambora: Meriam Nyi Roro Kidul, Frankenstein, dan Malapetaka di Eropa

Liputan6.com 2021-07-08 12:16:02
Penampakan terkini kawah Gunung Tambora. (Twitter/@infomitigasi)

Saat Gunung Tambora mulai batuk, 5 April 1815, tak ada yang mengira malapetaka akan datang. Gunung itu sudah lama tidur. Letusan terakhirnya terjadi antara tahun 3890 SM and 800 Masehi, terlalu lama menghilang dari memori manusia.

Yang kemudian terjadi justru salah sangka. Para pedagang dan penjelajah Inggris mengira, gelegar Gunung Tambora adalah bunyi meriam yang ditembakkan. Mereka khawatir, pertempuran di tengah laut sedang terjadi tak jauh dari sana.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Sir Thomas Stamford Bingley Raffles juga menuliskan soal informasi yang simpang siur itu di bukunya, History of Java, yang terbit 1817.

"Letupan pertama terdengar di pulau ini pada 5 April petang, bisa didengar di setiap sudut, dan berlanjut secara berkala hingga hari berikutnya," tulis Raffles, seperti dikutip dari situs thoughtco.com.

Awalnya, orang-orang mengira itu bunyi meriam yang ditembakkan dari jarak jauh, entah di mana.

"Sampai-sampai satu detasemen pasukan dikerahkan dari Yogyakarta, mengira pos tetangga sedang diserang. Dan, di sepanjang pantai, kapal-kapal dikerahkan untuk mencari bahtera yang diduga dalam bahaya."

Pada 10 April 1815, erupsi makin menjadi. Kemudian, Gunung Tambora meletus dahsyat. Kekuatannya mencapai level 7 Volcanic Explosivity Index (VEI).

Dari jarak 25 kilometer, tiga kolom api terlihat melesat ke langit. Seorang saksi mata yang berada sekitar 16 km dari Tambora mengungkapkan, gunung itu seakan meleleh.

Kekuatannya jadi yang terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah. Empat kali lipat dari amuk Krakatau pada 1883, dan 10 kali lipat dari erupsi Gunung Pinatubo di Filipina pada 1991.

Erupsi diiringi halilintar sambung-menyambung, bunyinya menggelegar bagaikan ledakan bom atom, terdengar hingga ratusan kilometer. Langit gelap. Batu dan abu turun deras dari langit, mengubur apapun yang ada di bawahnya.

"Sekitar pukul 19.00 malam tiga bola api besar keluar dari Gunung Tombora (sebutan lain Tambora). Kemudian tiga bola api itu bergabung di udara dalam satu ledakan dahsyat," demikian keterangan Raja Sanggar pada Letnan Owen Philips yang diutus Raffles, seperti dikutip dari BBC.

Suara dentuman yang dihasilkan jauh lebih keras dari sebelumnya. Awak kapal Benares mengungkapkan, bunyinya mirip tiga atau empat meriam ditembakkan sekaligus. "Saking kuatnya, kapal sampai terguncang." Setelah itu hujan abu datang dan kegelapan melanda. Lilin-llin dinyalakan pukul 16.00.

Di Sumatera, pemimpin setempat yang mendengar suara ledakan keras pada 11 April 1815 cepat-cepat menuju Fort Marlborough, pemukiman Inggris di Bengkulu. Mereka mengira, konflik sedang pecah.

Pun dengan pemimpin lainnya lain di Sumatera dan sekitarnya. Setelah menerima informasi bahwa tak ada serangan yang terjadi, mereka mengaitkannya dengan kejadian supranatural.

"Para tetua menyimpulkan itu adalah adu kuat para jin, demikian dilaporkan pejabat di Fort Marlborough.Sementara itu di Gresik, Jawa Timur, penduduk setempat sepakat bahwa suara itu adalah 'meriam supranatural' penguasa laut selatan, Nyi Roro Kidul yang ditembakkan untuk merayakan pernikahan salah satu anaknya.

"Dan abu adalah ampasnya," demikian dikutip dari buku The Year Without Summer: 1816 and the Volcano That Darkened the World and Changed History Paperback karya William K. Klingaman.

Sementara itu di Gresik, Jawa Timur, penduduk setempat sepakat bahwa suara letusan Gunung Tambora adalah 'meriam supranatural' penguasa laut selatan, Nyi Roro Kidul yang ditembakkan untuk merayakan pernikahan salah satu anaknya.


Efek Mengerikan

Hempasan yang dipicu letusan Gunung Tambora mengamuk bak angin topan. Sejumlah saksi mata melaporkan terjadi guncangan mirip gempa. Wilayah-wilayah sekitarnya terkubur dari abu tebal.

Tsunami pertama mencapai Jawa Timur sekitar tengah malam pada 10-11 April. Tremor melanda wilayah tengah, 18 jam setelah letusan, merenggut hidup puluhan ribu orang.

Vulkanolog dari Cambridge University, Clive Oppenheimer dalam bukunya Eruptions that Shook the World memperkirakan, 60.000-120.000 nyawa terenggut, baik secara langsung -- oleh awan panas, tsunami -- maupun tak langsung, akibat kelaparan dan wabah penyakit yang berjangkit berbulan-bulan kemudian.

Kabar pertama meletusnya Tambora mencapai Inggris pada November 1815. Media The Times mempublikasikan secarik surat dari seorang pedagang di Hindia Belanda. "Kita baru mengalami letusan paling luar biasa yang mungkin belum pernah terjadi di manapun di muka Bumi," tulis dia, seperti dimuat situs sains, NewScientist.

Lautan sejauh mata memandang dipenuhi batang pohon, batu yang mengapung, juga jasad manusia yang menghalangi laju kapal.

Dua hari setelah letusan dahsyat, Sumbawa gelap gulita. "Tanaman padi sama sekali rusak, tak ada yang tersisa. Manusia dalam jumlah besar tewas seketika, lainnya meregangnyawa setiap harinya."

EfekAbu dan panas sulfur dioksida yang disemburkan Gunung Tambora melubangi atmosfer. Partikelnya yang luar biasa halus kemudian menetap di stratosfer selama bertahun-tahun.

Menjelang musim dingin 1815--1816, selubung abu yang hampir tak terlihat itu menutupi dunia, memantulkan sinar matahari yang mencoba menerobos, mempertahankan suhu dingin, dan mendatangkan malapetaka pada pola cuaca dunia.

Suhu rata-rata global merosot 2 derajat Celcius atau sekitar 3 derajat Fahrenheit. Akibatnya tak terbayangkan. Pada 1816, tak ada musim panas di Eropa.


Malapetaka di Eropa

Kegelapan menyelimuti langit Eropa. Tak ada sinar matahari. Benua biru diselimuti suasana suram. Panen gagal, orang-orang lapar.

"Bahan makanan berkurang, orang-orang terpaksa makan kucing dan tikus. Warga Eropa dan sisi timur Amerika Utara mengalami kesulitan tak terbayangkan," kata Stephen Self, profesor ilmu bumi dan planet di University of California, Berkeley, seperti dimuat situs Imperial Valley News.

Orang-orang mengira, kiamat akan segera terjadi. Kepanikan tak terkendali. "Seorang gadis membangunkan bibinya dan berteriak, 'dunia akan segera berakhir'. Sang bibi yang terkejut, kena serangan jantung, lalu koma."

Sementara di Ghent, pasukan kavaleri yang melintas saat badai, meniup terompet mereka, tanpa diduga, dua pertiga penduduk turun ke jalan, berlutut. Mereka mengira telah mendengar sangkakala pertanda kiamat," demikian digambarkan London Chronicle.

Demikian pula di Yunan, Daratan Tiongkok, orang-orang terpaksa memakan tanah liat, karena cuaca yang buruk menggagalkan panen padi.

Penyair Li Yuyang dalam puisinya mengisahkan tentang rumah-rumah yang tersapu banjir. Para orangtua terpaksa menjual anak-anak mereka, ditukar dengan sekantung gandum. Suami menyaksikan istri dan buah hatinya mati perlahan akibat kelaparan.

Tambora bahkan mengubah peta sejarah, 18 Juni 1815, cuaca buruk yang diakibatkan Tambora konon ikut membuat Napoleon Bonaparte kalah perang di Waterloo. Itu adalah hari terpedih dalam sejarah gilang-gemilang Sang Kaisar Prancis.

Di sisi lain, kegelapan yang menyelimuti Bumi menginspirasi novel-novel misteri legendaris misalnya, 'Darkness' atau 'Kegelapan' karya Lord Byron, 'The Vampir' atau 'Vampir' karya Dr John Palidori dan novel 'Frankenstein' karya Mary Shelley.

Juga sepeda. Kelaparan dan kurangnya pasokan pangan membuat orang tak mampu menyediakan pakan bagi kuda-kuda tunggangan yang satu-persatu mati karena kurang makan.

Bencana akibat erupsi Tambora menginspirasi pejabat kehutanan Jerman, Karl von Drais menemukan 'kuda-kudaan' yang disusun dari dua roda, tanpa pedal, yang jadi cikal-bakal sepeda.

Pertanda Aneh Sebelum Bumi Berguncang

Misteri Kilatan Cahaya dan Perilaku Aneh Hewan Sebelum Gempa Tangshan 1976

Liputan6.com 2021-07-08 00:15:22
Gempa besar mengguncang Kota Tangshan di China pada 28 Juli 1976, sekitar 240 ribu orang tewas (Public Domain)

Hewan-hewan menunjukkan perilaku aneh sebelum gempa mengguncang Kota Tangshan di China pada 28 Juli 1976. Petani bernama Fu Wenran menyesal mengabaikan pertanda itu.

"Binatang-binatang itu seperti mencoba memberitahu sesuatu. Seandainya kami tahu apa maksudnya, tidak banyak orang yang bakal meninggal," kata dia seperti dikutip dari situs ABC Australia.

Fu selamat dari musibah itu. Namun, sang istri ada dalam daftar 240 ribu orang yang tewas akibat gempa Tangshan.

Pria itu mengaku mendengar suara anjing-anjing menggonggong dan melolong liar beberapa jam sebelum lindu mengguncang pada pukul 03.42 dini hari.

Sejumlah orang juga melaporkan banyak tikus dan ular berkeliaran di kota. Hewan-hewan tampak gelisah, berlarian ke segala arah. Kuda dan sapi tak ketinggalan. Mereka menendang dinding kandang keras-keras.

Keanehan juga dijumpai di sumur-sumur warga. Beberapa pekan sebelumnya terpantau surut. Pada jam-jam terakhir sebelum gempa, permukaan air naik drastis sampai meluber.

Bahkan, kata Fu, orang-orang ikut aneh. "Orang-orang terlihat kesal dan bingung. Ada banyak perkelahian malam itu," kata Fu.

Cuaca panas dan sumuk diduga jadi pemicu emosi naik. Gelombang panas tiba-tiba muncul, para ahli meteorologi juga dibuat bingung karenanya.

"Panasnya bukan main kala itu. Pada pukul 02.00, orang-orang menyiramkan air ke badan mereka, sibuk kipas-kipas," kata Chang Qing, yang kala itu berprofesi sebagai fotografer. "Tapi anehnya, setelah gempa, tiba-tiba suhu mendingin."

Kenaikan suhu serupa dilaporkan terjadi di sejumlah peristiwa gempa lain di seluruh dunia. Ilmuwan menduga, kekuatan panas bumi jadi biang keladi. Namun, belum ada bukti ilmiah soal itu.


Kilatan Cahaya Misterius

Pertanda aneh lain yang diingat warga adalah penampakan kilatan cahaya misterius yang menerangi langit, sesaat sebelum gempa.

"Kelihatannya seperti ada ledakan. Kilatan cahaya terang, namun tak ada suara," kata Jiang Mo. Kala itu ia sedang berbaring, suhu yang panas membangunkannya dari tidur. "Banyak orang melihatnya, tapi tak ada yang bisa memberi penjelasan."

Fenomena itu dijuluki 'cahaya gempa' (earthquake lights). Beberapa ilmuwan menduga, fenomena itu muncul dari pikiran orang-orang yang trauma akibat gempa.

Namun, sejumlah ahli geologi berpendapat, bisa jadi itu terkait kekuatan elektromagnetik dari dalam tanah.

Hingga saat ini belum ada metode ilmiah untuk memprediksi kapan dan di mana gempa akan terjadi. Sejauh ini, perilaku aneh hewan secara luas diyakini paling menjanjikan untuk meramalkannya.

Pada 1960-an, China membentuk tim yang bertugas menyelidiki fenomena tersebut. Hasil kerja kelompok itu diklaim berhasil memprediksi secara akurat gempa magnitudo 7,3 pada tahun 1975 di Provinsi Liaoning timur laut.

Tim itu kini sudah dibubarkan. Menurut mantan kepala tim, Huang Zhujian, diperlukan penelitian yang lebih banyak dan meluas untuk membuat faktor perilaku hewan menjadi metode prakiraan yang praktis dan akurat untuk memprediksi datangnya lindu.

"Kita tahu hewan dapat merasakan gempa akan datang, namun itu hanya memainkan peran tambahan,"" kata dia. "Kita harus bergantung terutama pada metode geologi, bahkan jika itu tidak dapat memprediksi gempa dengan jelas."


Dampak Mengerikan

Gemuruh yang luar biasa keras terdengar saat gempa dengan kekuatan 7,8 skala Richter mengguncang area Tangshan dan sekitarnya, tepat saat jarum jam menunjuk ke pukul 03.42 waktu setempat.

Gempa utama berlangsung 'hanya' 14 sampai 16 detik. Tak lama kemudian giliran lindu 7,1 SR mengguncang

Dampaknya sungguh fatal. Kota-kota di sekitar episentrum hancur lebur. Sebanyak 240 ribu orang meninggal dunia, meski banyak orang yakin, jumlah mereka yang tewas sampai 750 ribu jiwa.

Guncangan juga dirasakan kuat di Beijing, yang memaksa warga malam itu tinggal di luar rumah. Mereka tak berani kembali ke rumah.

Saking kuatnya guncangan, orang-orang dilaporkan terlempar ke udara. Jalan, jembatan, stasiun kereta api, rumah dan pabrik-pabrik remuk bak terbuat dari kardus, bukan beton.

Gempa juga memutus aliran listrik yang membuat upaya penyelamatan berlangsung sulit. Satu-satunya hal yang bisa disyukuri adalah, lindu melanda pada musim panas. Tak terbayangkan derita yang harus dialami mereka yang selamat jika bencana terjadi pada musim dingin. Niscaya jumlah korban jiwa akan lebih tinggi.

Warga asing yang kebetulan melewati Tangshan setahun kemudian menggambarkan kehancuran yang ia saksikan. "Mirip gambaran dampak terburuk bom selama Perang Dunia II".

Jejak Kelam Aleppo

Satu Desa Masuk ke Dalam Tanah Akibat Gempa Terbesar di Aleppo 1138, Ratusan Ribu Warga Tewas

Liputan6.com 2021-07-07 18:00:23
Ilustrasi Gempa Bumi. (Image by Hatice EROL from Pixabay)

Perang yang terjadi antara rezim penguasa Bashar Al Assad dengan kubu pemberontak meluluhlantakkan Aleppo pada 2012 lalu.

Kala itu, kurang lebih 31.183 nyawa melayang. Kota yang tadinya cantik itu menjadi keping-keping. Namun, itu bukan kali pertama Aleppo hancur.

Mundur ke ratusan tahun lalu, tepatnya, pada 10 Oktober 1138. Kota Aleppo diguncang gempa besar. Warga pun segera mengungsi ke luar kota untuk mencari tempat aman. Namun, keesokan harinya, gempa lebih besar datang.

Hingga saat ini, kekuatan gempa besar itu belum diketahui secara pasti berapa Skala Richter. Guncangan yang mengakibatkan dinding-dinding yang mengelilingi Aleppo itu runtuh, rumah warga hancur berantakan.

Banyak warga yang tertimpa bangunan akibat gempa tersebut. Sudah tentu, kekuatan guncangan itu sangat besar meski tak terekam berapa besar kekuatannya dalam Skala Richter.

Sejarawan Mesir abad 15, Ibn Taghribirdi mengungkap, bahwa gempa itu menewaskan sekitar 230.000 jiwa.

Gempa itu disinyalir menjadi salah satu gempa yang paling mematikan sepanjang sejarah -- setelah gempa di Shensi, China yang menewaskan 830 ribu orang pada 1556 dan lindu di Tangshan pada 1976 yang membunuh 255 ribu hingga 655 ribu warga.

Mengutip Britannica.com, Rabu (10/10/2018), Aleppo terletak di Suriah utara. Wilayah yang terletak di perbatasan antara lempeng geologi Arab dan lempeng Afrika itu adalah bagian dari sistem Sesar Laut Mati. Sejumlah sesar malang melintang di kota itu.


Likuefaksi

Kabarnya, saat guncangan itu terjadi, seluruh dunia seakan sedang meraung. Suara jeritan, gemuruh, dan getaran seakan menghantui kota tersebut.

Para bocah yang tersesat menangis, mencari ayah dan ibu mereka. Suara mirip raungan monster muncul dari bawah tanah kota berusia tiga ribu tahun itu.

Kerusakan di Aleppo bukan yang terburuk. Benteng Tentara Salib yang berlokasi di Idlib disebut terdampak lebih parah. Seluruhnya rata tanah. Itu juga terjadi dengan benteng milik pasukan Islam di Al Atarib.

Kerusakan juga dilaporkan di Azrab, Bizaah, Tell Khalid, dan Tell Amar. Saking besarnya guncangan itu, Damaskus yang berjarak sekitar 350 kilometer ke selatan juga merasakan hal serupa.

"Di Azrab, desa yang terletak di tepian Pegunungan Kuros, tanah tiba-tiba terbelah di tengah permukiman. Seisi desa kemudian runtuh ke dalamnya," demikian dikutip dari situs alaraby.co.uk. Diduga, itu adalah fenomena likuefaksi.

Fenomena ini terjadi ketika tanah yang jenuh kehilangan kekuatan untuk menopang akibat dari tegangan atau getaran akibat gempa bumi. Akibatnya, tanah yang tadinya padat berubah menjadi encer atau air berat.

Fenomena tersebut sempat terjadi di Indonesia pada 28 September 2018. Kala gempa bumi melanda Kota Palu dan sekitarnya. Terjadi likuefaksi di Kelurahan Petobo yang menyeret rumah-rumah ke dalam tanah.


Saksikan Video Menarik Berikut Ini

Tsunami Raksasa 243 Meter

Jejak Tsunami Raksasa Setinggi 243 Meter Bikin Para Peneliti Merinding

Liputan6.com 2021-07-08 18:00:24
Jejak Tsunami di Cape Verde (Tanjung Verde) (Columbia University)

Tsunami dengan ketinggian 40 meter menerjang, 2 pulau langsung binasa. Itu terjadi akibat efek erupsi Gunung Krakatau pada 27 Agustus 1883.

Tsunami, salah satunya bisa dipicu letusan gunung. Baru-baru ini, temuan lebih dahsyat dilaporkan para peneliti dari Lamont-Doherty Earth Observatory, Columbia University, Amerika Serikat.

Di Kepulauan Cape Verde (Tanjung Verde) Afrika Barat, sekelompok peneliti menemukan sebuah jejak mengerikan yang tak pernah terbayangkan: mega-tsunami.

Jejak itu menunjukkan bahwa sekitar 73 ribu tahun lalu Gunung Fogo runtuh dalam hitungan detik. Hal itu memicu tsunami setinggi 800 kaki atau 243 meter menyapu Pulau Santiago yang berjarak 48 kilometer.

Ketinggian terjangan tsunami itu jika terjadi di Paris, bisa menerjang bagian atas Menera Eiffel yang punya tinggi 324 meter. Bahkan, bisa dipastikan Patung Liberty yang hanya setinggi 93 meter bisa langsung tenggelam bila itu terjadi di New York.

Saat ini, Gunung Fogo menjulang setinggi 2.829 meter di atas permukaan air laut. Sementara, Pulau Santiago, yang dulu menjadi wilayah terdampak paling parah, kini dihuni 250 ribu manusia. Tak terbayang apa jadinya jika hal yang sama terjadi saat ini.

Kejadian itu terpaut lama dengan saat ini, namun kajian dalam jurnal tersebut menjadi alarm bagi kita bahwa gunung merapi yang runtuh bisa sebabkan malapetaka besar. Bahkan, lebih besar dari apa yang pernah dibayangkan.

"Yang kami maksudkan adalah, peristiwa kolapsnya gunung berapi bisa terjadi sangat cepat dan katastropik. Yang bisa memicu tsunami raksasa," kata Ricardo Ramalho dari Lamont-Doherty Earth Observatory, Columbia University, Amerika Serikat.

Untungnya, "itu tak sering terjadi." Apa pun, kata dia, manusia modern harus mempertimbangkan potensi bahayanya.


Batu yang Salah Tempat

Di Pulau Santiago yang berjarak 55 kilometer dari Fogo, Ricardo Ramalho dan timnya menemukan jejak terjangan gelombang berupa sejumlah bongkahan batu raksasa (giant boulder). Ada yang sebesar truk van, lainnya berbobot mencapai 770 ton.

Batu itu tak mirip dengan struktur geologi di sekitarnya. Namun, cocok dengan batuan dasar laut di sekitar garis pantai. Padahal mereka berada di lokasi setinggi 650 kaki atau 198 meter dari permukaan laut. Bagaimana bisa terbawa ke atas?

Satu-satunya penjelasan realistis soal fenomena itu adalah: gelombang raksasa merobek batuan itu dari garis pantai dan mengangkatnya.

Berdasarkan ukuran dan berat batuan, para ilmuwan mencoba mengalkulasikan energi yang dibutuhkan untuk membawa batuan tersebut dari dasar laut dan memprediksi ketinggian gelombang.

Ramalho dan ahli geokimia Gisela Winckler lalu mengukur isotop dari elemen helium yang tertanam dekat permukaan batuan raksasa -- isotop tersebut berubah tergantung pada berapa lama batu tergeletak di tempat terbuka, terpapar sinar kosmik.

Hasil analisis merujuk pada waktu sekitar 73 ribu tahun lalu. Lebih awal dari perkiraan tim peneliti dari Prancis.

Ahli tsunami, Bill McGuire, profesor emeritus di University College London yang tidak terlibat dalam penelitian berpendapat, studi terbaru memberikan bukti kuat pembentukan mega-tsunami dan mengonfirmasi bahwa ketika gunung api runtuh seketika, bencana seperti itu bisa terjadi.

Berdasarkan pemahamannya, McGuire mengatakan bahwa mega tsunami seperti itu mungkin terjadi sekali setiap 10 ribu tahun. "Menunjukkan adanya potensi bahaya nyata dan serius yang dimiliki cekungan laut yang menjadi rumah gunung berapi aktif," kata dia.

Meski terdengar mengerikan, Ricardo Ramalho buru-buru menggarisbawahi, hasil temuan mereka bukanlah 'pertanda' bahwa kejadian serupa akan terjadi dalam waktu dekat di sekitar Gunung Fogo atau di lokasi lainnya.


Timbulkan Perdebatan

Kesimpulan para peneliti terkait tsunami raksasa itu memunculkan kembali perdebatan, apakah gunung berapi mampu memicu mega-tsunami.

Mereka sepakat, bahwa gunung berapi yang kolaps bisa menyebabkan bahaya besar. Itu terbukti di Jepang dan Alaska dalam beberapa ratus tahun lalu. Di antaranya bahkan memicu tsunami mematikan.

Sementara, sejumlah ilmuwan meragukan sebuah gunung besar bisa mendadak kolaps. Mereka berpendapat, gunung longsor dalam beberapa tahapan -- yang memicu serangkaian tsunami kecil.

Beberapa penelitian lain sebelumnya menyebut, sejumlah peristiwa kolapsnya gunung berapi pada masa prasejarah yang mengakibatkan megatsunami. Misalnya, di kepulauan Hawaii, Gunung Etna di Italia, dan Pulau La Reunion di Samudra Hindia. Namun, para kritikus mengatakan, contoh-contoh tersebut terlalu sedikit dan bukti terlalu tipis.


Jejak Tsunami Raksasa

Meski menyebabkan kehancuran dan merenggut nyawa banyak manusia, tsunami di Aceh 2004 yang menewaskan sekitar 230 ribu orang dan gelombang gergasi yang menerjang Jepang pada 2011 tak masuk kategori 'mega-tsunami'. Sebab, ketinggian gelombang 'hanya' sekitar 30 meter. Penyebabnya pun gempa bawah laut, bukan vulkanik.

Sejumlah peneliti mengaku menemukan jejak tsunami setinggi 50 meter yang dipicu aktivitas Gunung Etna di Italia -- yang 6 mil persegi batuannya runtuh -- sekitar 8.000 tahun lalu.

Sementara, megatsunami Teluk Lituya terjadi pada 9 Juli 1958. Kala itu, gempa bumi berkekuatan 8,3 skala Richter memicu tanah longsor yang menyebabkan 30 juta meter kubik batu dan es dari tebing tinggi, menjatuhkan ke perairan.

Setelah itu gelombang setinggi 524 meter terbentuk. Jutaan pohon tumbang dan tersapu oleh bah. Itu adalah gelombang tertinggi yang pernah dikenal manusia. Bencana itu menewaskan 5 orang. Wilayah terdampak terpencil dari area yang ramai dihuni manusia.

Pada 2011, para ilmuwan Prancis juga menelaah tentang kolapsnya gunung Fogo, menyebut bahwa peristiwa tersebut terjadi 124 ribu hingga 65 ribu tahun lalu. Namun studi itu juga menyebut, itu tak hanya sekali terjadi. Peneliti Prancis memperkirakan, gelombang yang dipicu 'hanya' sekitar 45 kaki atau 13 meter.

Di sisi lain, studi terbaru memperkirakan, tsunami 800 kaki atau 243 meter akibat Gunung Fogo yang kolaps disebabkan batuan seluas 160 kilometer kubik yang dijatuhkan sekaligus.


Saksikan Video Menarik Berikut Ini

Air Bah Menerjang, 4 Juta Nyawa Melayang

Banjir Sungai Yangtze Tahun 1931, Nyaris 4 Juta Warga Jadi Korban

Liputan6.com 2021-07-08 12:00:31
Foto dari udara yang diabadikan pada 16 Agustus 2020 ini menunjukkan Sungai Tuotuo, hulu dari Sungai Yangtze, di Provinsi Qinghai, China barat laut. (Xinhua/Wu Gang)

Tiongkok Selatan merupakan salah satu wilayah terpadat di muka bumi. Di sana warga mengandalkan kehidupannya dari aliran sungai untuk pertanian dan kebutuhan hajat harian. Sungai Yangtze, adalah kehidupan bagi mereka.

Sungai Yangtze berwajah dua, satu kehidupan, satu lagi kematian. Sungai ini menunjukkan wajah keduanya pada 18 Agustus 1931. Banjir besar terjadi, sekurangnya 3,7 juta jiwa tewas.

Baik yang terdampak langsung dari air bah maupun bencana turunan setelahnya yang berlangsung selama berbulan-bulan. Bencana ini disebut sebagai yang terburuk pada abad 20.

Sebelumnya, pada April 1931, curah hujan turun di atas rata-rata di sejumlah daerah aliran sungai. Ketika hujan lebat datang lagi pada Juli tahun yang sama, air sungai Yangtze membanjiri area seluas 500 mil persegi.

Pada awal Agustus, hampir setengah juta warga meninggalkan rumah akibat air Sungai Yangtze meninggi. Saat air terus naik pada paruh pertama Agustus karena curah hujan lebih banyak, membuat sawah terendam dan tanaman rusak.


Akibat Sedimen

Kota-kota besar seperti Wuhan dan Nanjing bergantung pada beras yang ditanam di sawah tersebut dan tanpa beras, orang-orang di kota-kota mati kelaparan.

Selain itu, penyakit tipus dan disentri merajalela karena sungai yang tercemar. Jutaan orang yang meninggal karena banjir ini binasa karena kelaparan dan penyakit, banyak yang meninggal setelah air banjir surut.

Sebagian besar bencana mungkin dapat dicegah jika tindakan pengendalian banjir telah diikuti dengan cermat.

Sungai Yangtze membawa sedimen dalam jumlah besar, yang terakumulasi di daerah tertentu di sungai dan harus dibersihkan secara teratur. Namun, dengan sebagian besar sumber daya daerah tersebut dikhususkan untuk perang saudara pada saat itu, sungai itu diabaikan.


Saksikan Video Menarik Berikut Ini

Malapetaka di Tepi Sungai Kuning

Sungai Huan He Renggut 2 Juta Jiwa dalam Banjir Terbesar di China Tahun 1887

Liputan6.com 2021-07-08 21:00:33
Banjir Sungai Huan He menewaskan 900 ribu hingga 2 juta orang (Wikipedia)

Huang He, atau Sungai Kuning mengalir di China sebagai salah satu sungai terpanjang. Di jajaran dunia, Sungai Kuning berada di urutan keenam terpanjang.

Sungai Huang He mengalir sejauh 3.395 mil. Setidaknya ada sembilan wilayah dilintasi sungai yang bermuara di Sungai Bohai ini.

Sesuai namanya, sungai ini airnya berwarna kuning. Mayoritas warga setempat percaya ini bukan sungai biasa. Sungai ini disebut punya kekuatan spiritual, sebab warna airnya yang tak seperti sungai lainnya.

Selain menjulukinya dari warna airnya, sungai ini juga disebut sebagai sungai China's Sorrow atau The Ungovernable. Dua nama yang terdengar seperti kutukan daripada berkah.

Di balik sebutan nama kutukan itu, ada jutaan nyawa yang tewas. 28 September 1887 adalah awal kutukan itu. Hujan dengan intensitas besar mengguyur aliran sungai yang berada di pegunungan Bayan Har.

Volume air naik hingga ke pematang. Air makin meninggi seiring hujan yang tak berhenti selama berhari-hari.

Mengutip sebuah laporan dari Devastatingdisasters.com, Selasa (27/9/2016), akibat adanya pembangunan dan perbaikan tanggul di sekitar sungai, membuat Huan He lebih tinggi 23 meter dibandingkan dengan tanah di sekitarnya.


Renggut 2 Juta Nyawa

Volume air yang kian besar tak sanggup dibendung lagi. Tanggul pembatas pun jebol. Air bah menyapu 300 desa dan 11 kota, lengkap dengan jutaan warga yang mendiami bantaran sungai.

Permukiman warga, lahan, serta bangunan yang berada di Huayankou, dekat Kota Zhengzhou, Provinsi Henan, direndam air dan menjadi danau.

Hampir 2 juta warga dilaporkan hilang kala itu. Sekitar 1,3 juta korban dinyatakan meninggal, sementara yang lainnya masih belum diketahui nasibnya.

Sebanyak 2 juta penduduk yang selamat, dilaporkan Worldhistoryproject.org, menjadi tunawisma, kelaparan, dan rentan terserang virus mematikan.

Bencana turunannya pun datang setelahnya. Korban yang selamat dari air bah, tumbang satu demi satu akibat tifus dan disentri. Hal tersebut menambah jumlah total korban tewas menjadi hampir 2 juta jiwa.

Bencana sungai Huan He 1887 langsung masuk nominasi sebagai tiga besar bencana paling merusak dan mematikan di China.


Saksikan Video Menarik Berikut Ini

Tsunami Aceh yang Membuka Mata Dunia

Pelajaran Berharga dari Tsunami Aceh 2004

Liputan6.com 2021-07-08 17:21:31
Ruangan di Museum Tsunami Aceh yang berisi nama-nama korban bencana tersebut (Liputan6.com/Rino Abonita)

Tsunami Aceh 26 Desember 2004 adalah peristiwa yang tak boleh dilupakan. Kala itu, gempa bawah laut berkekuatan 9,1 skala Richter mengguncang Samudera Hindia di lepas pantai Sumatera Utara, Indonesia.

Sekitar 9 menit kemudian, tsunami datang. Gelombang raksasa setinggi 30 meter menghantam Aceh, membawa kehancuran di Bumi Serambi Mekkah.

Setelah itu, hal tak terduga terjadi. Ayunan tsunami kemudian menghantam Thailand, Sri Lanka, India, Maladewa, dan pesisir timur Afrika. Jutaan liter air laut tumpah ke daratan. Lebih dari 230 ribu nyawa melayang atau dinyatakan hilang.

Tsunami Aceh Menjadi salah satu bencana terdahsyat di Abad ke-21.

Tak hanya duka dan nestapa, Tsunami Aceh ternyata memberikan banyak pelajaran berharga yang bisa menyelamatkan banyak orang.

Misalnya, warga Indonesia diingatkan bahwa Nusantara berada di zona yang rawan bencana: Lingkaran Cincin Api Pasific (Ring of Fire). Apa yang terjadi saat itu juga mengilhami banyak studi tentang kegempaan dan ilmu pengetahuan lain.

Berikut 3 pelajaran berharga yang bisa dipetik dari Tsunami Aceh:


1. Kearifan Lokal

Hanya ada tujuh korban jiwa di Simeulue. Padahal, kabupaten itu terletak di dekat episentrum atau titik gempa dan menjadi salah satu daerah terparah yang dilanda tsunami.

Kesiapan dalam menghadapi bencana menjadi faktor yang membuat "keajaiban" itu terjadi. Uniknya, hal tersebut tidak diperoleh penduduk melalui pendidikan formal yang mereka dapatkan di sekolah atau penyuluhan dari pemerintah, melainkan kearifan lokal yang diturunkan dari generasi ke generasi.

Ditemui Liputan6.com dalam World Tsunami Awareness Day Symposium 2016, salah satu korban selamat gempa dan tsunami Aceh 2004 sekaligus peserta High School Students Summit on World Tsunami Awareness Day di Jepang, Muhammad Haikal Razi, bercerita secara singkat tentang kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Simeulue.

"Mereka memiliki kearifan lokal yang sangat unik, di mana ada semacam syair. Jadi ibu-ibu kalau mau meninabobokan anak-anaknya dinyanyikan syair itu. Bunyi syair itu kurang lebih kalau tiba-tiba gempa besar dan air laut tiba-tiba surut segeralah lari ke tempat yang lebih tinggi," ujar siswa kelas 11 SMAN 1 Banda Aceh itu pada Kamis (15/12/2016).

"Jadi syair itu selalu diperdengarkan dari generasi ke generasi. Itulah yang menyebabkan pada saat 2004 hanya tujuh orang saja yang menjadi korban, sedangkan di daerah lainnya sampai 167 ribu orang lebih yang jadi korban," ujar Haikal. Ia menambahkan, oleh masyarakat Simeulue, tsunami juga disebut dengan smong.


2. Peringatan Dini

Pada 2004, para ahli geologi menemukan bukti berupa deposit pasir yang dielak paksa oleh gelombang raksasa yang dipicu gempa selama ribuan tahun di sebuah gua di Sumatera.

Ternyata, kejadian tsunami tak jarang terjadi di Samudera Hindia. "Setidaknya ada 5 kejadian fatal yang terjadi di perairan Sumatera sebelum 2004," kata Paula Dunbar, seorang ilmuwan di Pusat Data Geofisika Nasional NOAA. Dan selama 300 tahun terakhir, 69 tsunami terjadi di Samudera Hindia.

Meski berisiko, sebelumnya tak ada sistem peringatan dini tsunami di wilayah yang terancam terdampak. Kini, jaringan peringatan senilai US$ 450 juta telah beroperasi, yang terdiri dari 140 seismometer, sekitar 100 alat pengukur permukaan laut dan beberapa pelampung (buoy) yang mendeteksi tsunami, walau masih menemui sejumlah kendala.

Sejumlah buoy yang dipasang menjadi target vandalisme, atau tak sengaja rusak. Padahal pelampung tersebut dan juga alat pengukur punya arti penting untuk membantu mendeteksi, apakah sebuah gempa memicu tsunami.

Jaringan global Deep-Ocean Assessment and Reporting of Tsunami (DART) yang mendeteksi gelombang tsunami juga telah diperluas, dari 6 buoy pada 2004 menjadi 60 pada 2014.

Pusat peringatan tsunami regional juga telah dibangun di Australia, India dan Indonesia. Para ilmuwan di sana memutuskan apakah tsunami berpotensi terjadi berdasarkan informasi dari jaringan sensor, memperkirakan seberapa besar gelombang, lalu memperingatkan pemerintah -- yang akan menindaklanjuti dengan cara memberikan peringatan lewat sirine, TV, radio, dan pesan singkat.

Memberikan peringatan pada orang-orang yang tinggal di area terpencil adalah salah satu yang masih jadi kendala sistem baru itu. Tak semua peringatan sampai ke entitas masyarakat lokal. Dan tak setiap gempa yang berpotensi tsunami bisa membuat takut orang-orang. Untuk membuat mereka menjauh dari pantai.

Di Pulau Mentawai, Sumatera, pada 2010 terjadi tsunami yang menewaskan lebih dari 400 orang. Salah satu penyebabnya, warga tak berhasil mengevakuasi diri pada waktu jeda yang sangat singkat -- di antara gempa dan datangnya tsunami. Rupanya guncangan kala itu tak cukup kuat untuk membuat masyarakat di sana khawatir. Beda dengan yang terjadi pada 2007 kala warga ramai-ramai mengevakuasi diri. Demikian hasil investigasi Tsunami Research Center di University of Southern California. Juga tak ada peringatan jelas saat itu.

"Gempa tsunami masih tetap menjadi tantangan besar," kata Emile Okal, seismolog dari Northwestern University di Evanston, Illinois, AS pada pertemuan harian American Geophysical Union di San Francisco.


3. Prediksi Datangnya Tsunami

Rintangan lain adalah bagaimana memperkirakan secara akurat ayunan gelombang tsunami. Tsunami 2004 memantul dari Aceh ke sejumlah pantai -- bahkan di lokasi yang tak dikira seperti Sri Lanka dan barat Australia.

"Aku menemukan sebuah perahu di tengah jalan, baru saat itu saya menyadari tsunami terjadi," kata Charitha Pattiaratchi, ahli tsunami dari University of Western Australia yang sedang mengendarai mobil di jalanan Sri Lanka pada 26 Desember 2004. "Saat itu aku menyimpulkan kondisi aman, dan aku salah."

Pattiaratchi lantas kembali ke Colombo, berkata pada orang-orang untuk tak khawatir. Tak ada ombak yang akan datang, kondisi aman. "Namun 20 menit kemudian, ombak 7 meter datang. Dua jam kemudian masih ada gelombang lain menerjang."

Sebuah peringatan tsunami bisa dikeluarkan hanya 5 menit setelah gempa bawah laut membuat dasar laut naik atau turun sehingga memicu tsunami. Untuk membuat prediksi makin detil, para ilmuwan menggunakan data yang dikumpulkan dari seismometer, stasiun GPS, alat pengukur pasang, dan sistem pelampung (buoy) yang disampaikan ke pusat-pusat peringatan lewat satelit. Lalu model komputer akan mengubah data menjadi simulasi satelit yang rinci, yang berdasarkan lebih dari 2.000 contoh nyata.

"Tsunami seperti menjatuhkan batu ke kolam. Riak yang ditumbulkan tak seragam, dipengaruhi pegunungan dan lembah dasar laut," kata Eddie Bernard mantan direktur Pacific Marine Environmental Lab NOAA.

Setelah gempa membuat Bumi gonjang-ganjing, para ilmuwan pusat tsunami NOAA menghabiskan waktu sejam berikutnya untuk membuat perkiraan tsunami rinci, termasuk ke mana saja ia akan memantul. Hasilnya memproyeksikan kapan ombak akan tiba di garis pantai dan pelabuhan, memperkirakan arus tsunami yang disebabkan dan mengukur ketinggian gelombang.

NOAA berambisi untuk mengurangi waktu yang diperlukan secara dramatis. "Kita sekarang pada titik di mana kita ingin melakukannya semua itu dalam 5 menit," kata Vasily Titov, direktur Center for Tsunami Research NOAA.

Caranya adalah dengan membangun jaringan seismik yang lebih baik, mendapatkan cara mendapatkan respons yang lebih cepat dari sensor permukaan laut dan mempercepat perkiraan komputer.

"Ketika tiga komponen ini bisa didapatkan, maka kita akan bisa menyelamatkan semua orang," kata Titov.

Peringatan! Bencana juga Bisa Datang dari Langit

Teka-teki Ledakan Dasyat di Langit Siberia pada 1908

Liputan6.com 2021-07-08 03:00:25
Dampak insiden Tunguska (NewScientist)

Pada tanggal 30 Juni 1908, sebuah tragedi menimpa langit Siberia. Saat itu, terjadi ledakan yang sangat besar, sampai meratakan area hutan seluas 2.150 kilometer persegi (830 mil persegi) atau setara dengan menebang sekitar 80 juta pohon.

Dari laporan para saksi mata saat itu, terdapat bola cahaya yang cemerlang jatuh, jendela pecah, dinding turap (dinding penahan tanah) hancur dan ledakan memekakkan telinga tidak jauh dari sungai setempat.

Ledakan ini dikenal sebagai Peristiwa Tunguska, yang ditandai sebagai meteor yang meledak (bolide) berkekuatan hingga 30 megaton, pada ketinggian 10 hingga 15 kilometer (6,2 hingga 9,3 mil).

Peristiwa Tunguska diingat sejarah sebagai "Peristiwa dengan Dampak Terbesar dalam Sejarah". Meskipun tidak ada kawah bekas yang ditemukan. Pencarian selanjutnya berhasil menemukan pecahan batu yang mungkin berasal dari meteor.

Namun, hingga kini penyebab ledakan seringkali diperdebatkan dan belum diketahui pasti, demikian dikutip dari laman sciencealert, Rabu (30/6/2021).

Menurut penelitian yang diterbitkan bulanan oleh The Royal Astronomical Society, asteroid besi besar yang memasuki atmosfer Bumi dengan ketinggian relatif rendah sebelum memantul kembali ke luar angkasa, yang menyebabkan timbulnya efek Tunguska.

Peristiwa yang memberikan gelombang kejut sehingga menghancurkan lingkungan di sekitarnya.

"Kami telah mempelajari kondisi lintasan asteroid berdiameter 200, 100, dan 50 meter, yang terdiri dari tiga jenis material , yaitu besi, batu, dan air es, melintasi atmosfer bumi dengan ketinggian lintasan minimum pada kisaran 10 hingga 10 meter. 15 kilometer," tulis peneliti yang dipimpin oleh astronom Daniil Khrennikov dari Universitas Federal Siberia.

"Hasil yang diperoleh mendukung penelitian kami. Ini menjelaskan salah satu masalah lama astronomi yaitu fenomena Tunguska yang belum diketahui pasti. Namun, kami berpendapat bahwa peristiwa Tunguska disebabkan oleh benda asteroid besi, yang melewati atmosfer Bumi dan berlanjut ke orbit dekat-matahari."


Komposisi Asteroid

Lalu, para peneliti secara matematis memodelkan bagian dari ketiga komposisi asteroid dengan ukuran berbeda untuk menentukan apakah peristiwa ledakan semacam itu mungkin saja terjadi.

Sebuah hipotesis para peneliti Rusia pada 1970-an soal asteroid yang terdiri dari es dirasa cukup sederhana untuk tereliminasi dari daftar.

Panas yang dihasilkan oleh kecepatan yang dibutuhkan untuk menjangkau lintasan, diperkirakan akan sepenuhnya melelehkan badan es sebelum mencapai jarak berdasarkan data pengamatan.

Asteroid berbatu juga lebih kecil kemungkinannya. Meteor diperkirakan meledak ketika udara memasuki tubuh melalui retakan kecil di meteor, menyebabkan penimbunan tekanan saat terbang di udara dengan kecepatan tinggi. Sedangkan asteroid besi jauh lebih tahan terhadap fragmentasi daripada yang berbatu.


Meteorit Besi

Menurut perhitungan tim, penyebab yang paling mungkin adalah meteorit besi antara 100 dan 200 meter (320 hingga 650 kaki) dengan kecepatan terbang 3.000 kilometer (1.800 mil) melalui atmosfer.

Itu tidak akan pernah turun di bawah 11,2 kilometer per detik (7 mps), atau di bawah ketinggian 11 kilometer. Model ini akan menjelaskan beberapa karakteristik peristiwa Tunguska. Salah satunya kurangnya dampak kawah karena meteor akan meluncur melewati pusat ledakan tanpa jatuh.

Kurangnya puing-puing besi juga dijelaskan oleh kecepatan tinggi ini, karena objek akan bergerak terlalu cepat, dan akan terlalu panas untuk jatuh.

Para peneliti mengatakan setiap massa yang hilang akan melalui sublimasi atom besi individu, yang akan terlihat persis seperti oksida terestrial normal.


Gelombang Kejut

"Dalam versi ini, para peneliti juga mencatat bahwa kita dapat menjelaskan efek optik yang terkait dengan debu yang kuat dari lapisan atmosfer yang tinggi di atas Eropa, yang menyebabkan cahaya terang di langit malam," tulisnya.

Meskipun hasilnya sangat meyakinkan, para peneliti mencatat bahwa hasil penelitian mereka memiliki beberapa keterbatasan. Mereka pun berharap dapat menyelesaikan dengan penelitian di masa depan.

Pertama, mereka "tidak berurusan dengan masalah pembentukan gelombang kejut", meskipun perbandingan awal mereka dengan meteorit Chelyabinsk memungkinkan gelombang kejut besar terjadi di Tunguska.

Namun demikian, gagasan tentang asteroid besi yang menghantam atmosfer Bumi tentu saja menarik sebagai penyebab dari peristiwa Tunguska.


Saksikan Video Pilihan Berikut Ini :

Supermoon Pemicu Gempa Jepang 2012?

Menelusuri Muasal Dugaan Supermoon 'Picu' Bencana Dahsyat

Liputan6.com 2021-07-08 01:00:21
Muncul fenomena Supermoon terakhir di 2020 pada bulan Ramadan (Foto: unsplash.com/Bryan Goff)

Pada Sabtu (19/3/2011) lalu, bulan berada dalam jarak terdekatnya dengan Bumi -- yang paling rapat dalam kurun waktu 18 tahun. Rembulan hanya terpisah jarak 221.567 mil atau 356.578 kilometer dari planet manusia.

Dalam bahasa astronominya, fenomena tersebut dijuluki purnama terbesar (lunar perigee). Namun, orang kebanyakan menyebutnya sebagai supermoon.

Bagi yang beruntung bisa menyaksikannya malam itu, bulan terlihat bulat, besar, dan terang. Di Indonesia, puncak supermoon terjadi Minggu (20/3/2011) dini hari, tepatnya pada pukul 02.10 WIB.

Pada Rabu (9/3/2011), seorang astrolog -- bukan astronom -- Richard Nolle meramalkan, supermoon 'ekstrem' yang akan terjadi pada 10 hari kemudian, bakal memicu malapetaka.

Salah satunya yang dipakai jadi dasar teori ini adalah fakta bahwa Tsunami Aceh 2004, yang merenggut lebih dari 200 ribu nyawa terjadi dua minggu sebelum supermoon 2005.

Entah kebetulan atau bukan, gempa 7 SR yang mengguncang Haiti pada 12 Januari 2010, yang bertanggung jawab atas kematian lebih dari 200 ribu jiwa. Yang terjadi, tak lama sebelum supermoon 30 Januari 2010.

Dua hari kemudian, pada hari Jumat (11/3/2011), tanah di Jepang berguncang hebat. Lindu dengan kekuatan 9 skala Richter memorakporandakan kawasan utara Negeri Sakura, memicu tsunami yang menyapu seluruh kawasan pesisir pantai Pasifik di wilayah Tohoku.

Namun, teori itu dibantah Badan Antariksa Amerika Serikat, NASA. Ilmuwan Goddard Space Flight Center NASA, Jim Garvin menjelaskan, supermoon terjadi saat bulan berada dalam jarak yang sedikit lebih dekat dengan bumi. Efek tersebut paling terlihat saat terjadi bulan purnama.


Bantahan NASA

"Bulan akan terlihat lebih besar, meski perbedaan jarak dari bumi hanya beberapa persen di banding biasanya," kata dia seperti dimuat situs Space.com.

Menurutnya, efek bulan terhadap bumi telah lama menjadi subjek studi. "Efek supermoon terhadap bumi kecil. Dan menurut studi detail para seismolog dan vulkanolog, kombinasi antara supermoon dan bulan purnama tidak memengaruhi energi internal keseimbangan di bumi."

Meski bulan berkaitan dengan kondisi pasang surut bumi, itu tidak mampu memicu gempa besar dan mematikan. Kekuatan sebenarnya justru berada di bumi. "Bumi menyimpan energi di balik lapisan luar atau keraknya. Perbedaan daya pasang surut yang diakibatkan bulan (juga matahari) tidak cukup mendasari munculnya kekuatan besar dari dalam bumi."

Hal senada diungkap Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Thomas Djamaluddin. "Dengan ramalan bencana sesungguhnya tidak kaitannya. Memang pada saat purnama, beberapa potensi bencana ada, tapi tidak selalu. Kecuali ada hal lain yang memperkuat," kata dia saat diwawancara Liputan6.com.


Bantahan Picu Bencana

Supermoon bukan berarti bencana. Pun dengan kejadian Tsunami Aceh 2004, yang terjadi terjadi 2 pekan sebelum supermoon 10 Januari 2005. "Kalau 2 minggu sebelumnya, posisi bulan bukan supermoon. Tapi hanya purnama biasa," jelas dia.

Pun dengan pakar gempa dari Puslit Geoteknologi LIPI, Danny Hilman Natawidjaja. Tak ada bukti ilmiah keterkaitan supermoon dengan bencana khususnya gempa dan tsunami.

"Tak ada dasar ilmiah yang jelas, selain hanya gravitasi bulan yang sedikit lebih besar dari biasanya."

Menurut Danny, harus dianalisa secara statistik hubungan bencana dan supermoon. "Jangan-jangan hanya kebetulan saja atau randomness," tambah dia.

Selain terjadinya supermoon, sejumlah peristiwa penting dalam sejarah terjadi pada tanggal 19 Maret. Pada tahun 1787, galaksi NGC 3432 ditemukan oleh William Herschel.

Sementara, pada 19 Maret 1945, 800 orang tewas ketika pesawat Jepang menyerang kapal pengangkut pesawat, USS Franklin, di perairan Negeri Sakura.


Saksikan Video Pilihan Berikut Ini :