Namun yang jelas, kasus COVID-19 dunia sudah melewati angka 190 juta, dengan jumlah kematian lebih dari 4 juta jiwa, demikian data dari Coronavirus Resource Center John Hopkins University and Medicine pada Minggu malam, 18 Juli 2021.
Tim Special Content Liputan6.com mencoba mewawancarai sejumlah ahli untuk mencari tahu apa gerangan yang memicu orang meragukan atau menyepelekan dampak COVID-19.
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, menjelaskan, dari sisi psikologi, ada tiga aspek yang membuat orang tak percaya COVID-19. Yang pertama adalah aspek kognitif.
"Secara kognitif, jangankan COVID-19, yang tak percaya dengan polio saja masih ada. Anak kena polio dibilangnya malah kutukan setan. Jadi, selalu ada tantangan sepanjang zaman dan tidak semua manusia percaya dengan sains," kata dia.
Yang kedua adalah aspek emosi. Aspek ini biasanya baru akan menyentuh seseorang kalau merupakan pengalaman langsung kena COVID-19, atau kalau ada orang dekatnya yang kena. Tapi sepanjang COVID-19 tak menyakiti orang tersebut, tak memukul orang tersebut, maka emosinya tidak akan kena.
Hamdi mengungkapkan, dalam psikologi juga ada istilah self-serving bias. "Jadi orang tersebut susah untuk diyakinkan soal COVID-19. Pas kena ke dirinya atau keluarganya, baru dia mau percaya."
Ada lagi aspek emosi terkait agama dan keyakinan. "Agama kalau dipakai untuk nakut-nakutin, itu secara emosi akan masuk ke dalam diri orang. Jadi bukan agamanya yang salah, tapi agama dipakai untuk menggoyang emosi orang, sehingga mereka tidak rasional soal COVID-19," kata pria kelahiran Padangpanjang, Sumatra Barat itu.
Aspek ketiga adalah motivasi politik, di mana orang tersebut memiliki motivasi politik tertentu untuk memilih yang sebaliknya dari kebijakan pemerintah.
"Pemerintah kan dalam posisi percaya COVID-19. Logika oposisi sedehana saja. Kalau pemerintah percaya, maka orang tersebut tidak percaya. Benar atau tidak, bisa dicari belakangan, yang penting beda dulu dengan pemerintah."
Hamdi juga memberikan saran bagi masyarakat untuk terus merangkul orang yang tidak mempercayai COVID-19. Hal ini bisa dilakukan dengan mengajak diskusi secara benar dan santai.
"Kalau ketemu orang tak percaya COVID-19, ya dibicarakan baik-baik. Kita kasih data dan fakta yang masuk akal sesuai ilmu pengetahuan. Tapi memang kadang-kadang ada saja yang susah, yang di grup Whatsapp misalkan, sampai berantem karena berdebat."
Pengaruh Pilpres 2019
Sementara, Sosiolog Universitas Indonesia, Imam Prasodjo, berpendapat, sikap orang percaya atau tidak pada suatu fenomena, sangat tergantung pada kemampuan pemahaman orang tersebut. Apalagi COVID-19 hanya bisa dipahami secara baik, paling tidak jika orang tersebut memiliki kemampuan mengikuti kajian hal-hal yang berkaitan dengan ilmu kedokteran.
"Virus ini kan tidak terlihat secara kasatmata dan teorinya juga tidak mudah. Penjelasan kepada publik tentang virus itu memerlukan upaya komunikasi yang tidak mudah, tidak bisa begitu saja disosialisasikan, karena memang kajian tentang virologi itu sesuatu yang rumit. Tidak semua orang bisa memahaminya," kata Imam.
Dengan kesulitan memahami virus corona, maka perlu cara penyampaian yang tepat dari orang-orang yang kredibel. Tidak bisa hanya dijelaskan dengan jalur pemerintah semata.
"Jadi ada masalah komunikasi yang kita alami. Apalagi kita juga mengalami era jejaring komunikasi digital, yang semua orang bisa mengakses informasi, dan siapa pun bisa bikin berita tentang COVID-19, yang tidak semuanya benar secara ilmiah."
Oleh karena itu, masyarakat umum tersajikan banyak informasi yang punya keragaman keakuratan dari sisi ilmiah. Alhasil, kesemrawutan informasi tidak terhindarkan.
Sayangnya, tambah Imam Prasojo, banyak tokoh yang dipercaya oleh masyarakat dan punya akses memberi informasi, justru tidak memahami dan tidak mau belajar soal COVID-19 secara ilmiah atau empirik.
"Jadi pada saat mereka menafsirkan berdasarkan ilmu non empirik, apakah itu ilmu agama, atau ilmu apapun, itu jadi tidak sinkron. Jadi ada dua arus pergulatan ilmu. Yang satu ilmu berdasarkan scientific modern, dan satu lagi pengetahuan non empirik. Itu tidak selalu ketemu. Padahal, kedua ilmu ini punya pendengar sendiri-sendiri."
Integrasi keilmuan dan bahasa dalam menjelaskan fenomena COVID-19 harus diupayakan agar tidak terjadi fragmentasi. Sebab, pemerintah selama ini dinilai terlalu government oriented dalam menjelaskan COVID-19.
"Padahal, residu politik dari hasil pilpres kemaren, ada kalangan tertentu yang tidak mau mendengarkan penjelasan apapun yang dikemukakan oleh pemerintah, sehingga mereka buat narasi sendiri. Tidak semua pihak bisa menerima pemerintah secara baik, apapun penjelasannya, tapi pada saat yang sama pemerintah juga tidak menggunakan tokoh komunitas untuk dimintai bantuan dalam menjelaskan COVID-19 sesuai kajian ilmiah dengan bahasa mereka," ucap Imam.
Pola Komunikasi Pemerintah yang Ambigu
Pada awal kemunculan virus corona, banyak pernyataan pejabat yang dinilai meremehkannya. Misalnya Menteri Kesehatan sebelumnya, Terawan Agus Putranto, yang menyatakan, kematian efek flu lebih tinggi dari corona. Ia juga menantang Universitas Harvard dan minta pembuktian penelitian mereka bahwa virus corona sudah masuk Indonesia.
Lalu, ada ucapan dari Menteri Luhut Pandjaitan bahwa virus corona tidak kuat hidup di cuaca panas seperti Indonesia. Kemudian, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo bahkan sempat memperkenalkan "kalung anti corona", yang malah jadi bahan ledekan di media sosial.
Pakar Komunikasi Politik Indonesia, Gun Gun Heryanto menilai, pemerintah patut dikritisi soal komunikasi yang kerap ambigu dalam beberapa hal. Menurut dia, pandemi ini harus didekati bukan dengan pendekatan komunikasi yang reguler.
"Dalam konteks itulah setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, apapun, itu harus kemudian dengan mudah dipahami oleh publik. Jangan kemudian equivocal communication atau komunikasinya samar. Komunikasinya ambigu," terang Gun Gun ketika dihubungi Liputan6.com.
Selain itu, Gun Gun juga menyebut bagaimana peran informasi yang di situasi seperti pandemi. Dia menekankan pentingnya pemerintah menunjuk siapa yang mengolah informasi di belakang layar dan siapa yang menyampaikannya ke khalayak, sehingga tidak semua orang dalam organ birokrasi dapat bicara apa saja, yang malah menimbulkan chaos informasi.
Chaos informasi disebabkan pemerintah sendiri tidak punya pemahaman, persepsi, dan satu suara tentang pandemi. Akhirnya, pemerintah yang sudah direpotkan dengan hoaks juga mesti berurusan dengan chaos informasi. Oleh karena itu, Gun Gun menyarankan pemerintah memaksimalkan kontra narasi lewat influencer kepada mereka yang cenderung melihat COVID-19 dari perspektif konspiratif.
Dalam pendekatan komunikasi, dia berharap pemerintah bisa memperbesar latitude of acceptance atau zona penerimaan dari masyarakat terkait kontra narasi yang mereka bangun dalam menangkal hoaks tentang COVID-19.
"Dari pembentukan opini mayoritasnya itu, harus dimulai dari orang-orang yang masih bisa dipercayai," beber Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta ini.
Gun Gun mengatakan, pemerintah harus memperbesar proporsi orang-orang yang bicara adalah mereka yang bisa dipercaya publik. Hal itu, ucap dia, demi memperkuat narasi-narasi pemerintah atas nama kepentingan publik mengenai pandemi ini, yang mesti diatasi bersama-sama, bukan hanya agenda pemerintah.
"Nah, masalahnya adalah, seberapa meyakinkan pemerintah dalam merangkul kelompok-kelompok independen ini untuk turut dalam arus utama konstruksi opini yang dikehendaki dan itu berpotensi untuk bisa memperluas penerimaan khalayak atas orientasi penyelesaian penanganan COVID-19 di Indonesia," ujarnya.