Ibu Kota Indonesia, Jakarta, kembali menjadi sorotan dunia. Media arsitektur, Rethinking The Future (RTF), menempatkan kota yang pernah menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda tersebut sebagai juara dalam perencanaan tata kota paling buruk di dunia.
Menurut pemberitaan laman tersebut, Jakarta bersama sembilan negara lain masuk daftar "10 Examples of Bad Urban City Planning" atau 10 contoh tata kota yang buruk. Jakarta digambarkan sebagai sebuah kota yang sangat padat yang diselimuti asap serta tenggelam dalam air yang tercemar.
Sabab musababnya adalah perencanaan yang kacau selama beberapa dekade yang mengantarkan Jakarta seperti sekarang ini; ruang hijau dan terbuka yang tidak memadai, kemacetan lalu lintas yang ekstrem, dan perluasan kota yang tidak terencana.
Faktor lain yang berkontribusi adalah pembangunan infrastruktur berada di tangan pemerintah daerah, mengurangi kemungkinan pelaksanaan proyek jangka panjang.
Sebagai gambaran saja, berdasarkan platform kualitas udara iqair.com pada Selasa (24/8/2021), kualitas udara di Jakarta berada di urutan teratas yang dianggap paling buruk. Bahkan, disebut tidak sehat bagi kelompok sensitif.
Tercatat, konsentrasi sebaran PM 2,5, atau partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron di Jakarta pada pukul 12.00 WIB sebesar 90 mikrogram per meter kubik (MPMK).
Jika mengacu standar harian nasional, yakni 65 MPMK, maka angka Jakarta pada siang hari sudah jauh melewati standar aman.
Jakarta Obesitas Pengamat Tata Kota, Yayat Supriatna memandang apa yang dikeluarkan oleh RTF hanya bersifat opini, karena harus ada indikator yang jelas untuk melihat kekurangan dari suatu kota. Meskipun, dia tak menepikan bahwa memang ada masalah. "Jakarta ini banyak pusat kegiatan yang tidak didukung sepenuhnya oleh pusat pelayanan kota karena banyak fasilitas pelayanan kota yang belum mampu memenuhi standar sebuah kota yang layak. Misal ada yang bangun perkantoran atau pusat perbelanjaan ternyata PDAM tidak mampu sediakan air akhirnya ambil jalan pintas dengan air tanah yang mengakibatkan Jakarta semakin turun," kata Yayat kepada Liputan6.com, Selasa (24/8/2021). Selain itu, fasilitas sampah dengan jumlah penduduk yang padat, akhirnya tak mempunyai TPS dan memilih ke Bekasi. "Jakarta jadi kurang didukung jaringan pelayanan kotanya, tidak mampu mengendalikan tumbuh kembangnya pusat baru diluar rencana tata ruang," ungkap Yayat. Dia mengungkapkan, Jakarta ini bukan kota yang direncanakan sejak awal. Baru ada masterplan pembangunan di masa pemerintahan Ali Sadikin dari tahun 1965 sampai 1985. Bahkan, lanjut Yayat, Ali Sadikin di tahun 1967 juga sempat mengutarakan bahwa jumlah ideal warga Jakarta itu 5 juta jiwa. "Jadi sebenarnya daya tampung penduduk dengan luas wilayah kudu selesai dengan fasilitas pelayanannya. Tapi sekarang yang tinggal terlalu banyak sementara jaringan pelayanan belum mampu. Implikasinya Jadi obesitas. Karena Jakarta harus menanggung beban penduduk sekitar. Bekasi, Depok, Tangerang, Bogor," jelas dia. Dia mengungkapkan, terkait apa yang dikeluarkan RTF harus dicek ulang lagi, Seolah-olah apa yang dilontarkan hanya karena ada pernyataan dari Presiden Amerika Serikat Joe Biden yang seakan Jakarta ini tak punya masa depan. "Jadi cari pembanding yang apple to apple, jangan mudah terprovokasi. Karena kita tahu solusi atas masalah ini," tegas Yayat. Menurutnya, Jakarta masih ada harapan. Persolan mendasar itu daya tampung yang sudah melebihi kapasitas, sehingga itu perlahan mulai dicari akar masalahnya. Sehingga, apa yang harus dilakukan Jakarta saat ini adalah redistribusi fungsinya. "Artinya menyebar beban kota Jakarta ke kota lain. Misal, kalau Jakarta udah enggak kuat industri, kalau kebanyakan mal, pindahkan ke luar Jakarta, BSD, Sentul, dan lainnya. Jangan tambah lagi di Jakarta kalau enggak mau tambah macet, sebar bebannya," kata Yayat. Senada, Direktur Eksekutif Pusat Studi Perkotaan Nirwono Joga memandang, pembangunan kota Jakarta selalu tergantung dengan kebijakan siapa Gubernur yang memimpin bukan pada pelaksanaan rencana tata ruang yang sudah ada dan dibuat sendiri oleh Pemda DKI dengan konsisten. "Akibatnya ganti Gubernur ganti kebijakan, bahkan cenderung harus beda meskipun itu melanggar tata ruang. Ironisnya setiap melanggar justru diputihkan, bukan dikembalikan ke fungsi semula sehingga pelanggaran tata ruang terjadi dimana-mana dan dibiarkan bertahun-tahun," kata Nirwono kepada Liputan6.com, Selasa (24/8/2021). Menurutnya, jika pelanggaran rencana tata ruang kota ini terus dibiarkan, maka akan membuat Jakarta bunuh diri secara ekologis. "Ancaman Jakarta tenggelam adalah salah satunya, banjir tahunan. Tetapi tidak ada terobosan untuk mengatasinya bahkan berhenti dalam membenahi sungai hanya karena berbeda nama," ungkap Nirwono. Menurutnya, setiap kota akan selalu berubah selalu dinamis, dan berevoluasi. Jika penataan kota terencana baik tentu akan membawa kesejahteraan bagi warganya, tetapi ini bisa sebaliknya jika dilakukan dengan tanpa pertimbangan dan menabrak aturan. "Gubernur DKI sebaiknya fokus pada rencana tata ruang kota yang sudah ada, patuhi dan laksanakan, jangan memberi contoh melanggar apalagi memutihkan pelanggaran tata ruang. Fokus pada penanganan banjir, penambahan RTH, peremajaan/pengembangan kawasan terpadu, pengintegrasian transportasi massal," kata Nirwono.