20 Tahun 9/11, Misteri yang Belum Terungkap

HEADLINE: 20 Tahun Tragedi WTC 11 September, Al-Qaeda Berpotensi Bangkit?

Liputan6.com 2021-09-11 00:02:03
(FILES) Dalam file foto asap dan api meletus dari menara kembar World Trade Center setelah pesawat komersial sengaja menabrak gedung-gedung di Manhattan, New York pada 11 September 2001. (AFP

Hari ini, 20 tahun lalu, 2.996 orang tewas. Nyawa mereka melayang dalam teror paling brutal sepanjang sejarah, yang dikenal sebagai tragedi 9/11.

Tak hanya paling mengerikan, tragedi 9/11 juga menjadi teror dengan kerugian terbesar di dunia. Angkanya mencapai US$ 25.122 juta atau Rp 330,5 triliun.

Pagi itu, 11 September 2001, 19 militan yang terkait dengan kelompok ekstremis Al-Qaeda membajak empat pesawat. Mereka kemudian melakukan serangan bunuh diri dengan sasaran gedung di Amerika Serikat.

Mengutip History, Jumat (10/9/2021), dua dari pesawat ditabrakkan ke menara kembar World Trade Center di New York City, pesawat ketiga menghantam Pentagon di luar Washington, D.C, dan pesawat keempat jatuh di sebuah lapangan di Shanksville, Pennsylvania.

Para pembajak adalah teroris dari Arab Saudi dan beberapa negara Arab lainnya. Aksi itu dilaporkan dibiayai organisasi teroris Al-Qaeda yang dipimpin buronan Arab Saudi, Osama bin Laden. Mereka diduga bertindak sebagai pembalasan atas dukungan Amerika terhadap Israel, keterlibatan dalam Perang Teluk Persia, dan kehadiran militer AS yang berkelanjutan di Timur Tengah.

Osama bin Laden saat itu bersembunyi dengan bantuan Taliban saat memerintah Afghanistan dari 1996 hingga 2001. Amerika Serikat pun langsung menginvasi Afghanistan dan menggulingkan Taliban karena menolak menyerahkan para pemimpin Al-Qaeda setelah serangan 11 September 2001.

Kini, Taliban kembali berkuasa di Afghanistan. Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin mengatakan, kelompok ekstremis Al-Qaeda yang menggunakan Afghanistan sebagai pangkalan untuk menyerang Amerika Serikat 20 tahun lalu, mungkin mencoba beregenerasi di sana menyusul keluarnya pasukan Amerika yang telah membuat Taliban berkuasa.

Hal itu diungkap Austin kepada sekelompok kecil wartawan di Kuwait City pada akhir lawatan empat hari ke negara-negara Teluk Persia. Dia mengatakan Amerika Serikat siap mencegah kembalinya Al-Qaeda di Afghanistan yang akan mengancam Amerika Serikat.

"Seluruh dunia sedang mengamati apa yang terjadi dan apakah Al-Qaeda memiliki kemampuan untuk beregenerasi di Afghanistan,'' katanya.

"Al-Qaeda dan ISIS akan selalu berusaha menemukan ruang untuk tumbuh dan beregenerasi, apakah itu di sana, di Somalia, atau wilayah lain yang tidak berpemerintahan."

Selama 20 tahun pasukan AS berada di Afghanistan, aktivitas Al-Qaeda sangat berkurang. Tetapi pertanyaan kini kembali muncul tentang prospek masa depannya dengan Taliban di Kabul.

"Kami sudah memberi tahu Taliban bahwa kami berharap mereka tidak membiarkan itu terjadi," kata Austin, mengacu pada kemungkinan Al-Qaeda menggunakan Afghanistan sebagai basis operasinya di masa depan.

Dalam perjanjian dengan pemerintahan Trump Februari 2020, pemimpin Taliban berjanji tidak mendukung Al-Qaeda atau kelompok ekstremis lain yang mengancam Amerika Serikat. Namun para pejabat AS meyakini bahwa Taliban mempertahankan hubungannya dengan Al-Qaeda, dan banyak negara, termasuk negara-negara Teluk Arab. Mereka khawatir bahwa kembalinya Taliban ke tampuk kekuasaan dapat membuka pintu bagi kebangkitan pengaruh Al-Qaeda.

Austin menegaskan, militer AS mampu menanggulangi Al-Qaeda atau ancaman ekstremis lainnya ke Amerika Serikat yang berasal dari Afghanistan dengan menggunakan pesawat pengintai dan serangan yang berbasis di tempat lain, termasuk di Teluk Persia. Namun ia juga mengakui usaha itu akan lebih sulit tanpa pasukan AS dan tim intelijen yang berbasis di Afghanistan.

Pengamat Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi, menilai potensi bangkitnya Al-Qaeda di Afghanistan itu kecil. Kepentingan Taliban kini sudah berbeda sejak kembali berkuasa. Al-Qaeda justru dinilai bisa mengganggu pemerintahan Taliban ke depannya.

"Mereka akan memerangi kelompok Al-Qaeda dan ISIS yang menggunakan tanah atau wilayah Afghanistan untuk tujuan-tujuan terorisme," ujar Yon Machmudi kepada Liputan6.com.

Menghadapi ancaman Al-Qaeda maupun ISIS, menurutnya akan cukup menantang bagi Taliban, karena kedua kelompok itu bergerak secara underground. Contohnya ISIS yang sempat meledakkan bandara di Kabul beberapa waktu lalu.

Selain itu, Taliban diprediksi tak akan kerja sama lagi dengan Al-Qaeda mengingat hubungan lama mereka justru memicu perang 20 tahun dengan AS.

"Posisi Taliban tidak memungkinkan untuk bekerja sama dengan Al-Qaeda karena mereka tentu belajar dari pengalaman masa lalu ketika berkuasa, lalu membantu, dan menampung pimpinan Al-Qaeda. Itu berdampak kepada invasi dan serangan Amerika yang menjatuhkan Taliban pada 2001," jelas Yon Machmudi.

Faktor hubungan luar negeri juga menjadi penghalang hubungan Taliban dan Al-Qaeda. Amerika Serikat dan Taliban sepakat agar kelompok teror seperti Taliban dan Al-Qaeda dilarang di Afghanistan. Hal itu merupakan deal dengan AS sebelum meninggalkan Afghanistan.

Ada juga pengaruh Rusia dan China yang menuntut adanya stabilitas di Afghanistan, terutama wilayah perbatasan, untuk kepentingan masing-masing. "Deal dengan negara-negara tetangga, baik itu China, Rusia, dan Iran, itu adalah persoalan keamanan," jelas Yon.

"Jadi mereka meminta agar kelompok separatis yang biasa berada di perbatasan Afghanistan yang mengganggu keamanan di Asia Tengah dengan Rusia ataupun dengan China itu diminta ketegasan Taliban tidak membiarkan wilayahnya dipakai untuk itu."

Dari sisi ideologi, Taliban dan Al-Qaeda juga dinilai Yon berbeda terkait pemerintahan. Menurutnya, Al-Qaeda lebih erat dengan ISIS.

"Mereka sama-sama kelompok yang berideologi Islam tapi basisnya berbeda. Taliban dalam melawan Amerika dia tak pernah melakukan aksi-aksi bom bunuh diri. Kemudian anggota Taliban tidak ada yang terlibat di luar Afghanistan karena Taliban fokus kepada perjuangan di Afghanistan," jelas Yon Machmudi.

Lebih lanjut, Taliban berniat mendirikan pemerintahan Emirat di Afghanistan. Mereka juga mengaku siap berdiplomasi dengan berbagai negara, serta tak ada niatan membangun khilafah.

"Berbeda dengan Al-Qaeda maupun ISIS yang menginginkan adanya sebuah pemerintahan global yang disebut Islamic State yang meliputi seluruh wilayah di dunia Islam," Yon memungkasi.

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Dokumen Rahasia

Presiden AS Joe Biden baru-baru ini mengatakan dia akan merilis dokumen rahasia yang terkait dengan penyelidikan apakah Arab Saudi berperan dalam serangan itu. Pemerintah Arab Saudi telah membantah ada hubungan dengan serangan tersebut.

Joe Biden mengeluarkan perintah eksekutif kepada Jaksa Agung Merrick Garland untuk merilis dokumen tersebut. Tapi tidak memberikan keterangan waktu.

Presiden Joe Biden pada juga mengarahkan deklasifikasi dokumen-dokumen tertentu yang terkait dengan serangan teroris 11 September 2001, sebuah isyarat dukungan kepada keluarga korban yang telah lama mencari catatan dengan harapan melibatkan pemerintah Saudi.

Perintah itu, yang datang sedikit lebih dari seminggu sebelum peringatan ke-20 serangan 9/11, adalah momen penting dalam pergumulan selama bertahun-tahun antara pemerintah dan keluarga mengenai informasi rahasia tentang serangan yang dapat dipublikasikan.

Konflik itu terlihat pada Agustus 2021 ketika banyak kerabat, penyintas, dan responden pertama menentang partisipasi Biden jika dokumen tetap dirahasiakan.

Biden mengatakan, dia memenuhi komitmen kampanye dengan memerintahkan peninjauan deklasifikasi dan berjanji bahwa pemerintahannya "akan terus terlibat dengan hormat dengan anggota komunitas (9/11) ini."

"Peristiwa penting yang dimaksud terjadi dua dekade lalu atau lebih, dan itu menyangkut momen tragis yang terus bergema dalam sejarah Amerika dan dalam kehidupan begitu banyak orang Amerika," perintah eksekutif itu menyatakan.

"Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa Pemerintah Amerika Serikat memaksimalkan transparansi, mengandalkan klasifikasi hanya jika disesuaikan secara sempit dan diperlukan."

Perintah Joe Biden tersebut mengarahkan Departemen Kehakiman dan lembaga cabang eksekutif lainnya untuk memulai tinjauan deklasifikasi, dan mengharuskan dokumen yang tidak diklasifikasikan dirilis selama enam bulan ke depan.

Brett Eagleson, yang ayahnya, Bruce, termasuk di antara para korban World Trade Center (WTC) dan yang merupakan advokat untuk kerabat korban lainnya, memuji tindakan Joe Biden sebagai "langkah pertama yang kritis." Dia mengatakan keluarga akan mengawasi proses dengan cermat untuk memastikan bahwa Departemen Kehakiman menindaklanjuti dan bertindak "dengan itikad baik."

"Tes pertama akan dilakukan pada 9/11, dan dunia akan menyaksikan. Kami berharap dapat berterima kasih kepada Presiden Biden secara langsung minggu depan saat dia bergabung dengan kami di Ground Zero untuk menghormati mereka yang meninggal atau terluka 20 tahun lalu," kata Eagleson.

Namun, dampak praktis dari perintah eksekutif dan dokumen baru apa pun yang mungkin dihasilkannya tidak segera jelas. Dokumen publik yang dirilis dalam dua dekade terakhir, termasuk oleh Komisi 9/11, telah merinci banyak keterlibatan Saudi tetapi belum membuktikan keterlibatan pemerintah.

Gugatan lama di pengadilan federal di New York bertujuan untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah Saudi dan menuduh bahwa pejabat Saudi memberikan dukungan signifikan kepada beberapa pembajak sebelum serangan.

Gugatan itu mengambil langkah maju yang besar tahun ini dengan interogasi di bawah sumpah mantan pejabat Saudi, dan anggota keluarga telah lama menganggap pengungkapan dokumen yang tidak diklasifikasikan sebagai langkah penting dalam membuat kasus mereka.

Pemerintah Saudi telah membantah ada hubungan dengan serangan itu.

15 pembajak adalah orang Saudi, seperti halnya Osama bin Laden, di mana jaringan Al-Qaeda berada di balik serangan itu. Pengawasan khusus berpusat pada dukungan yang ditawarkan kepada dua pembajak pertama yang tiba di AS, Nawaf al-Hazmi dan Khalid al-Mihdhar, termasuk warga negara Saudi yang memiliki hubungan dengan pemerintah Saudi yang membantu orang-orang itu menemukan dan menyewa apartemen di San Diego dan yang sebelumnya menarik perhatian FBI.

Meskipun banyak dokumen yang memeriksa potensi hubungan Saudi telah dirilis, pejabat AS telah lama menganggap catatan lain terlalu sensitif untuk diungkapkan. Pada hari Kamis, keluarga korban dan penyintas mendesak inspektur jenderal Departemen Kehakiman untuk menyelidiki ketidakmampuan FBI untuk menemukan bukti kunci yang mereka cari.

Departemen Kehakiman AS mengungkapkan bulan lalu bahwa FBI baru-baru ini menyelesaikan penyelidikan yang memeriksa pembajak 9/11 tertentu dan rekan konspirator potensial, dan bahwa FBI sedang berupaya memberikan lebih banyak informasi.

Di bawah ketentuan perintah eksekutif, FBI harus menyelesaikan tinjauan deklasifikasi dokumen dari penyelidikan itu pada 11 September, yang disebutnya sebagai "Investigasi Subfile."

Dokumen tambahan, termasuk telepon dan catatan bank dan laporan dengan temuan investigasi, harus ditinjau dengan mata untuk pengungkapan selama enam bulan ke depan.


Detik-Detik Serangan 9/11

Pada Selasa pagi yang cerah, 11 September 2001, pukul 08.45, pesawat American Airlines Boeing 767 yang memuat 20.000 galon bahan bakar jet menabrak menara utara World Trade Center di New York City.

Dampaknya meninggalkan lubang yang menganga dan terbakar di dekat lantai 80 gedung pencakar langit berlantai 110 itu, hingga membunuh ratusan orang dan menjebak ratusan lainnya di lantai yang lebih tinggi.

Saat evakuasi menara dan kembarannya sedang berlangsung, kamera televisi menyiarkan gambar langsung dari apa yang awalnya tampak seperti kecelakaan aneh. Kemudian, 18 menit setelah pesawat pertama menabrak, Boeing 767 kedua ---Penerbangan United Airlines 175--- muncul dari langit, berbelok tajam ke arah World Trade Center dan membelah menara selatan di dekat lantai 60.

Tabrakan itu menyebabkan ledakan besar yang menghujani puing-puing yang terbakar di atas gedung-gedung di sekitarnya dan ke jalan-jalan di bawahnya. Segera menjadi jelas bahwa Amerika sedang diserang.

Para pembajak adalah teroris dari Arab Saudi dan beberapa negara Arab lainnya.

Dilaporkan dibiayai oleh organisasi teroris Al-Qaeda buronan Saudi, Osama bin Laden, mereka diduga bertindak sebagai pembalasan atas dukungan Amerika terhadap Israel, keterlibatannya dalam Perang Teluk Persia dan kehadiran militernya yang berkelanjutan di Timur Tengah.

Beberapa teroris telah tinggal di Amerika Serikat selama lebih dari satu tahun dan telah mengambil pelajaran penerbangan di sekolah penerbangan komersial Amerika. Yang lain telah menyelinap ke negara itu pada bulan-bulan sebelum 11 September dan bertindak sebagai "otot" dalam operasi itu.

Ke-19 teroris dengan mudah menyelundupkan pemotong kotak dan pisau melalui keamanan di tiga bandara Pantai Timur dan menaiki empat penerbangan pagi menuju California, dipilih karena pesawat-pesawat itu memuat bahan bakar untuk perjalanan lintas benua yang panjang.

Segera setelah lepas landas, para teroris mengomandoi empat pesawat dan mengambil kendali, mengubah jet penumpang biasa menjadi peluru kendali.

Saat jutaan orang menyaksikan peristiwa yang berlangsung di New York, Penerbangan American Airlines 77 berputar di atas pusat kota Washington, DC, sebelum menabrak sisi barat markas militer Pentagon pada pukul 09.45.

Bahan bakar jet dari Boeing 757 menyebabkan kebakaran hebat yang menyebabkan runtuhnya struktur sebagian bangunan beton raksasa, yang merupakan markas besar Departemen Pertahanan AS.

Semua mengatakan, 125 personel militer dan warga sipil tewas di Pentagon, bersama dengan semua 64 orang di dalam pesawat.

Kurang dari 15 menit setelah teroris menyerang pusat saraf militer AS, kengerian di New York berubah menjadi bencana ketika menara selatan World Trade Center runtuh dalam awan debu dan asap yang sangat besar.

Baja struktural gedung pencakar langit, dibangun untuk menahan angin lebih dari 200 mil per jam dan api konvensional yang besar, tidak dapat menahan panas luar biasa yang dihasilkan oleh bahan bakar jet yang terbakar.

Pukul 10.30, bangunan utara menara kembar runtuh.

Hanya enam orang di menara World Trade Center pada saat runtuh yang selamat. Hampir 10.000 lainnya dirawat karena cedera, banyak yang parah.

Sementara itu, pesawat keempat tujuan California--- United Flight 93--- dibajak sekitar 40 menit setelah meninggalkan Bandara Internasional Newark Liberty di New Jersey. Karena pesawat telah tertunda lepas landas, penumpang di pesawat mengetahui kejadian di New York dan Washington melalui telepon seluler dan panggilan Airfone ke darat.

Mengetahui bahwa pesawat tidak kembali ke bandara seperti yang diklaim pembajak, sekelompok penumpang dan pramugari merencanakan pemberontakan.

Para penumpang melawan empat pembajak dan diduga menyerang kokpit dengan alat pemadam kebakaran. Pesawat kemudian terbalik dan melaju ke tanah dengan kecepatan di atas 500 mil per jam, jatuh di lapangan pedesaan dekat Shanksville di Pennsylvania barat pada pukul 10.10 pagi. Semua 44 orang di dalamnya tewas.

Sebanyak 2.996 orang tewas dalam serangan 9/11, termasuk 19 teroris pembajak di empat pesawat. Warga dari 78 negara tewas di New York, Washington. DC, dan Pennsylvania.

Di World Trade Center, 2.763 orang tewas setelah dua pesawat menabrak menara kembar. Angka itu termasuk 343 petugas pemadam kebakaran dan paramedis, 23 petugas polisi Kota New York dan 37 petugas polisi Otoritas Pelabuhan yang berjuang untuk menyelesaikan evakuasi gedung dan menyelamatkan pekerja kantor yang terjebak di lantai yang lebih tinggi.

Di Pentagon, 189 orang tewas, termasuk 64 orang di American Airlines 77, pesawat yang menabrak gedung. Pada Penerbangan 93, 44 orang tewas ketika pesawat itu mendarat di Pennsylvania.


Korban yang Terlupakan

Ahmad Naser datang ke Kabul untuk melarikan diri dari Taliban. Pria berusia 30 tahun itu pernah menjadi penjaga di Camp Lawton militer Amerika, di Herat, dan telah mengajukan Visa Imigran Khusus Amerika Serikat untuk meninggalkan negara itu, mengingat adanya risiko pembalasan.

Pada sore hari tanggal 29 Agustus 2021, sehari sebelum pesawat militer Amerika terakhir meninggalkan Afghanistan, sebuah pesawat tak berawak AS 'menerangi' Khwaja Burga, sebuah distrik padat penduduk di Kabul.

Serangan itu menewaskan total 10 warga sipil, termasuk Naser dan tujuh anak-anak, menurut anggota keluarga. Mereka dilaporkan datang ke luar untuk menyambut kerabat Zemari Ahmadi, yang juga terbunuh, yang bekerja dengan kelompok bantuan AS mendistribusikan makanan kepada para pengungsi.

AS awalnya memuji serangan itu karena "menghilangkan ancaman ISIS-K yang akan segera terjadi", menambahkan bahwa tidak ada indikasi kematian warga sipil di lingkungan perumahan yang baru saja terkena rudal.

Komando Pusat AS (CENTCOM) mengeluarkan pembaruan, dengan mengatakan, "Tidak jelas apa yang mungkin terjadi, dan kami sedang menyelidiki lebih lanjut".

Jika itu benar, Ahmad Naser kemungkinan besar akan dilupakan oleh AS, di mana sejumlah besar warga sipil yang dibunuh oleh orang Amerika masih jauh di luar pemahaman populer tentang peristiwa 9/11. Pada hari itu, 2.977 orang terbunuh, dan Amerika Serikat telah membalaskan dendamnya pada orang-orang tak berdosa ini ratusan kali lipat.

Pasukan dan operasi Amerika telah membunuh lebih dari 350.000 warga sipil sejak itu.

Tetapi baik masyarakat, maupun keluarga korban, kemungkinan besar tidak akan pernah mendapatkan laporan lengkap tentang kematian tersebut.

Zona Perang

Pemerintah Amerika Serikat menghindari akuntabilitas 'Perang Melawan Teror', secara eksplisit menolak untuk menghitung jumlah korban jiwa di Afghaistan dan setengah hati berkomitmen untuk transparansi.

Setiap tahun, Amerika dan dunia berduka atas mereka yang hilang dalam kekejaman 9/11. Namun 20 tahun kemudian, kita masih tidak tahu berapa banyak orang lain yang harus berduka bersama mereka atas kekejaman yang terjadi selanjutnya.

Lebih dari 363.000 warga sipil tewas dalam Perang Melawan Teror, menurut perkiraan dari Brown University. Serangan udara AS sendiri telah menewaskan sebanyak 48.308 warga sipil, menurut pemantau konflik Airwars.

Dan berkali-kali lebih banyak orang terbunuh setelah pertempuran berakhir. Secara kumulatif, jumlah kematian warga sipil secara keseluruhan bisa sangat jauh melebihi 1 juta orang, bila memperhitungkan kematian tidak langsung akibat perang yang berasal dari infrastruktur dan rumah sakit yang hancur, penyakit, dan pengungsian, kata Crawford, profesor ilmu politik Universitas Boston yang mengarahkan Proyek Costs of War, kepada The Independent.

Karena Afghanistan, Irak, Suriah, Pakistan, dan Yaman masuk dalam hitungan zona medan perang pasca-9/11 -- di mana AS telah meluncurkan lebih dari perkiraan 90.000 serangan -- upaya dari para peneliti untuk menghitung korban tewas sangatlah sulit.

"Akan sangat sulit sampai tempat-tempat tersebut untuk mengetahui jumlah pastinya," kata Crawford.

Rintangan terbesar adalah pemerintah AS itu sendiri. Setelah bertahun-tahun agitasi dari keluarga, kelompok hak asasi, dan jurnalis, militer AS mulai mengungkapkan secara terbuka berapa banyak warga sipil yang dibunuhnya setiap tahun pada tahun 2018, tetapi secara teratur meremehkan angka itu hingga hampir tidak relevan.

Investigasi New York Times, misalnya, menemukan bahwa selama kampanye udara melawan ISIS di Irak, 31 kali lebih banyak warga sipil terbunuh daripada yang diakui secara resmi.

"Mereka tidak berbicara dengan saksi lokal," kata Aisha Dennis dari Reprieve, sebuah organisasi hak-hak sipil yang mengadvokasi korban serangan pesawat tak berawak.

"Semua alat investigasi dasar yang biasanya Anda gunakan untuk mencari tahu apa yang terjadi di TKP atau ketika seseorang terbunuh secara normal, mereka tidak menggunakannya."

Identitas The Falling Man

Pengakuan Fotografer Soal Misteri Identitas The Falling Man, Potret Pria Jatuh Saat 9/11

Liputan6.com 2021-09-06 17:02:07
(FILES) Dalam file foto ini asap mengepul dari menara kembar World Trade Center di Lower Manhattan, New York pada 11 September 2001. (AFP/Henny Ray Abrams)

Seorang fotografer AP, Richard Drew menceritakan pengalaman paling bersejarah dalam karirnya ketika ia mengabadikan foto seorang pria jatuh dalam peristiwa 9/11 di World Trade Center (WTC).

Tepat pada 11 September 2001, ketika dia membuat salah satu gambar yang paling tak bisa dilupakan hari itu. Dia sebenarnya tidak berada di World Trade Center(WTC) pada pukul 08:46 hingga 09.03, ketika pesawat menabrak menara.

Kala itu, dia sedang bertugas di peragaan busana hamil di Midtown ketika kantornya menelepon untuk meliput kabar tersebut.

Melansir CBS News, Senin (6/9/2021), foto yang diambil Drew, yang kemudian dikenal sebagai "The Falling Man," muncul di sejumlah surat kabar keesokan harinya. Banyak orang menganggapnya terlalu mengejutkan.

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Identitas Pria Jatuh Masih Misterius

Identitas pria yang jatuh tersebut tidak pernah ditentukan, meskipun wartawan telah menemukan dua kemungkinan.

Kemungkinan mereka adalah Jonathan Eric Briley dan Norberto Hernandez, yang hanya terpisah satu nama di tembok pembatas Tugu Peringatan 9/11.

Tetapi Drew dapat membantu mengidentifikasi korban lain pada hari itu: "Saya tidak dapat mengingat berapa banyak orang sebenarnya yang saya potret selama itu, tetapi itu bukan hanya satu atau dua orang. Seorang pria menelepon AP dan mengatakan bahwa dia tahu apa tunangannya mengenakan hari itu, dan mereka belum menemukan tubuhnya atau apa pun. Dan dia bertanya-tanya apakah dia bisa melihat foto-foto saya di AP."

"Saya benar-benar duduk bersamanya di laptop saya, dan kami melihatnya, bingkai demi bingkai, dari orang-orang yang jatuh dari gedung. Dan dia melihatnya. Ya, dia berkata, 'Oh, itu dia.' Dan itu saja."

Selama sebulan setelah serangan itu, "Dan ponselku berdering. Dan itu adalah putriku. Dan dia berkata, 'Ayah, aku hanya ingin memberitahumu bahwa aku mencintaimu.' Dan sampai hari ini, dia menelepon pada 11 September di mana pun saya berada untuk mengatakan, 'Ayah, aku mencintaimu.' Karena aku mungkin tidak akan selamat."

5 Teori Konspirasi 9/11

5 Teori Konspirasi Serangan 9/11 yang Menipu Banyak Orang

Liputan6.com 2021-09-08 19:40:36
File foto 11 September 2001 ini, menara selatan World Trade Center, kiri, mulai runtuh setelah serangan teroris di gedung-gedung penting di New York. (AP Photo/Gulnara Samoilova)

Dalam hitungan hari, masyarakat Amerika Serikat (AS) akan mengenang 20 tahun serangan 11 September 2001 atau dikenal sebagai tragedi 9/11.

Peristiwa itu merupakan rangkaian serangan teroris Al-Qaeda di AS. Salah satu target mereka adalah menara kembar World Trade Center di Manhattan, New York.

Tragedi di WTC merenggut nyawa hampir 3.000 orang, melukai 25 ribu orang, dan memicu perang selama 20 tahun di Afghanistan untuk memberantas kelompok teror Al-Qaeda.

Segala hal itu tidak mencegah para penganut teori konspirasi untuk menganalisis peristiwa itu secara imajinatif. Entah karena ketidakpedulian, atau sikap yang ingin gampangnya saja, teori hoaks pun gampang tersebar.

Tak sedikit pembaca yang secara percaya diri masih menyebarkan teori konspirasi tentang 9/11, meski teori-teori itu sudah lama dibantah. Salah satu yang paling populer adalah tidak mungkin gedung WTC bisa ambruk karena serangan pesawat.

Selain itu, berikut ini lima teori konspirasi terkait serangan 9/11 yang menipu banyak orang:

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


1. Tak Mungkin Tabrakan Pesawat Memicu Kehancuran

Menurut laporan History.co.uk, teori ini adalah yang paling persisten. Orang-orang yang skeptis berkata tak mungkin menara Utara dan Selatan bisa hancur seperti itu akibat tabrakan pesawat.

Pesawat pertama menabrak Menatara Utara di antara lantai 94 dan 98, sementara, pesawat kedua meabrak Menara Selatan antara lantai 78 dan 84.

Namun, investigasi National Institute of Standards and Technology (NIST) menyebut bahwa hantaman pesawat itu menyebabkan kerusakan kepada sistem utility shaft di gedung-gedung tersebut.

Selain itu, bensin pesawat menyambar ke shaft elevator dan memicu kebakaran besar. Banyak kabel elevator yang terputus dan terbanting ke lantai. Otomatis api juga merambat ke lobi.

Banyak pula korban terbakar di dalam gedung akibat hantaman pesawat tersebut.


2. Bensin Pesawat Tak Mungkin Lelehkan Baja

Situs History mencatat teori selanjutnya yang populer adalah titik cair baja adalah 1.510 derajat celcius. Sementara, temperatur dari bahan bakar jet adalah antara 426,6 derajat celcius dan 815,5 derajat celcius.

Meski perhitungan itu ada benarnya, penganut teori konspirasi lupa mempertimbangkan barang-barang di dalam gedung yang juga terbakar, sehingga menambah temperatur.

NIST menyorot berbagai furnitur yang terbakar, termasuk perlengkapan komputer, serta banyaknya kertas yang dilumat api. Temperatur yang ditimbulkan itu cukup untuk membuat bengkok baja.

Estimasi NIST, kebakaran di menara itu mencapai 1.000 derajat celcius di lokasi-lokasi tertentu. Bila baja terekspos suhu tersebut, kekuatannya berkurang hingga 90 persen.

Hal itu berakibat kolom dan steel beam gedung tak kuat lagi, sehingga gedungnya kolaps.


3. Ada yang Kendalikan Ledakan

Teori bom juga cukup populer. Mereka menyebut ada ledakan bom yang membuat WTC runtuh, bukan pesawat terbang. Bom itu katanya dipasang di kolom gedung.

Penganut teori konspirasi juga menyorot adanya gumpalan asap yang terlihat di lantai menara, sehingga dianggap ada bom.

Situs History mencatat dua kelemahan di teori itu. Pertama, tak ada laporan kredibel adanya tim peledak. Pasalnya, area WTC sangatlah ramai, sehingga tak mungkin orang-orang tidak curiga bila ada proyek pemasangan bom di kolom-kolom gedung.

Terkait asap yang terlihat seperti "ledakan", itu adalah dampak dari tekanan udara yang terjadi, kemudian bercampur dengan beton yang hancur, sehingga terlihat seperti ledakan.


4. Presiden Bush Sudah Tahu

Teori lain yang membuat penganut teori konspirasi yakin dengan inside job adalah ada peran dari Presiden George H. W. Bush. Narasi yang disebar adalah Bush sebetulnya sudah tahu adanya serangan.

Ketika 9/11 terjadi, Presiden Bush berada di Florida untuk membaca buku dengan anak-anak sekolah. Tiba-tiba, seorang ajudan datang dan berbisik: "Amerika sedang diserang."

Presiden Bush tidak langsung bereaksi, meski mengaku tercengang. Awalnya, Bush mengira itu kecelakaan pesawat.

"Saya berpikir itu adalah kecelakaan," ujar Bush seperti dikutip CBS News. "Saya berpikir ada kesalahan pilot. Saya pikir ada jiwa yang bodoh yang tersesat dan membuat kesalahan mengerikan."


5. Orang Yahudi Selamat

Ada lagi teori konspirasi yang menyebut bahwa 4.000 orang Yahudi selamat dari tragedi itu. Mossad dikatakan telah lebih dahulu memberi informasi kepada orang Yahudi sebelum tragedi 9/11 terjadi.

The Guardian menyebut bahwa tuduhan itu hanyalah tuduhan bersifat anti-Yahudi (anti-semit).

Situs anti-kebencian Yahudi, ADL.org, juga membantah teori konspirasi itu. Mereka menyebut ada korban-korban dari pihak Yahudi.

"Para teroris yang menarget World Trade Center tidak membedakan bahwa banyak pekerja Kristen, Yahudi, dan Muslim yang meninggal di gedung itu," tulis ADL.org.

Sosok Pahlawan Berbandana Merah

Kisah Pria Misterius Berbandana Merah, Pahlawan Tragedi 9/11 yang Muncul dari Reruntuhan

Liputan6.com 2021-09-10 19:10:43
Seorang wanita berjalan melewati pameran bendera AS untuk peringatan 20 tahun serangan 9/11 di Pepperdine University di Malibu, Rabu (8/9/2021). Selama 14 tahun, universitas itu memperingati

Saat tragedi 9/11 atau 11 September 2001 banyak warga New York menunjukkan keberanian luar biasa dan mempertaruhkan hidup mereka untuk menyelamatkan orang lain. Salah satu pahlawan ini adalah pria dengan bandana merah, Welles Crowther.

Dikutip dari 9/11 Memorial & Museum, Kamis (9/9/2021), ketika Penerbangan 175 yang dibajak menabrak Menara Selatan World Trade Center, orang-orang di lobi atas lantai 78 berkerumun, ketakutan dan bingung, karena tidak ada jalan keluar yang mereka tahu. Kemudian, seorang pria dengan bandana merah datang menutupi hidung dan mulutnya, ia tiba-tiba muncul dari reruntuhan (puing) dan kepulan asap.

Ia berbicara dengan suara tenang dan membimbing mereka ke tangga, lalu membawa mereka ke tempat yang aman. Pria berbandana merah tersebut melakukan tiga kali perjalanan ke lobi atas, menyelamatkan orang sebanyak yang ia bisa, hingga gedung yang terbakar runtuh.

Beberapa bulan setelah tragedi 9/11, cerita dari para korban yang selamat pun muncul tentang pria misterius yang mengenakan bandana merah. Keberanian dan kepahlawanan nya pada 9/11 tidak akan pernah terlupakan.

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Sosok Pria Bandana Merah

Alison Crowther, ayah dari pria misterius tersebut, membaca sebuah artikel tentang pahlawan di New York Times. Setelah membaca ia menyadari bahwa pria itu adalah putranya, Welles Crowther yang berusia 24 tahun.

Sang putra telah membawa saputangan merah sejak dia masih kecil. Welles Crowther bekerja sebagai pemegang saham dan juga menjadi petugas pemadam kebakaran sukarela. Judy Wein orang yang diselamatkan oleh Welles mengatakan, "Orang dapat hidup 100 tahun dan tidak memiliki belas kasihan, balasan atas apa yang dia lakukan."

Bandana merah milik Welles Crowther saat ini dipajang di Museum. Program Spesial Stories & Artterkait dengan kisah kepahlawan Welles Crowther digelar pada Sabtu, 5 September 2015 pukul 2 siang.

Honor Crowther Fagan sebagai saudara perempuan Welles Crowther, membacakan bukunya "The Man in the Red Bandana" yang terinspirasi dari kisah kakaknya yang dikenal dengan pria bandana merah dan pemberani.

Program terkait Welles Crowther gratis untuk anak-anak pengunjung Museum. Anak-anak memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan seni setelah membaca dan akan menerima salinan buku secara gratis.

Penulis : Vania Dinda Marella


Infografis Tragedi Kebakaran Lapas Tangerang

 

Identitas Baru Terkuak Setelah 20 Tahun

Hampir 20 Tahun, Identitas 2 Jenazah Korban Serangan 9/11 Baru Berhasil Terkuak

Liputan6.com 2021-09-09 10:30:00
Sepasang kekasih menikmati 'Tribute in Light' dari sisi Brooklyn Promenade untuk mengenang tragedi serangan WTC di New York, Minggu (10/9). Kota New York memperingati 16 tahun tragedi ser

Hampir 20 tahun usai serangan 9/11, petugas medis di New York City masih terus berusaha mengetahui identitas para korban. Terkini, petugas berhasil mengidentifikasi dua korban serangan teroris pada 11September 2001.

Dilaporkan NBC News, Kamis (9/9/2021), dua jenazah itu adalah korban ke-1.646 dan 1.647 yang berhasil teridentifikasi. Salah satunya adalah Dorothy Morgan dari Hempstead, New York. Identitas satu korban lagi tak diungkap ke publik atas permintaan keluarga.

Ketika meninggal, Morgan berusia 47 tahun.

New York City Office of the Chief Medical Examiner berkata hal ini adalah bagian dari analisis DNA yang masih terus berlanjut.

"20 tahun lalu, kami membuat janji kepada keluarga korban World Trade Center untuk melakukan segala yang kami bisa sampai kapanpun untuk mengidentifikasi orang-orang tercinta mereka, dan dengan dua identifikasi baru ini, kami terus memenuhi tanggung jawab sakral itu," ujar Dr. Barbara A. Sampson yang menjabat sebagai chief medical examiner.

Hingga kini tercatat masih banyak korban serangan 11 September 2001 atau 9/11 belum dapat teridentifikasi.

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Masih Banyak yang Belum Diidentifikasi

Total korban dari rangkaian serangan 9/11 mencapai 2.977 orang. Jumlah itu bukan hanya korban meninggal di menara WTC, melainkan juga saat pesawat yang menyerang Pentagon.

Ada juga korban dari pesawat United Airlines Flight 93 yang jatuh di Shankville setelah penumpang melawan pembajak pesawat.

Masih ada lagi 1.106 orang yang belum dapat diidentifikasi. Angka itu setara 40 persen jumlah korban.

"Tak peduli berapa lama waktu berlalu sejak 11 September 2001, kami tidak akan pernah lupa, dan kami berjanji untuk menggunakan semua perangkat yang kami miliki untuk memastikan mereka yang pergi bisa kembali bersatu dengan keluarga mereka," kata Dr. Barbara dalam pernyataannya.

Nyaris Terbakar Hidup-Hidup

Pengakuan Korban yang Terbakar Hidup-Hidup Saat Serangan 9/11

Liputan6.com 2021-09-09 14:56:10
Ilustrasi tragedi teror Serangan 11 September di New York, AS (AFP/Henry Ray Abrams)

Serangan 9/11 yang terjadi 20 tahun lalu nyaris menamatkan nyawa Lauren Manning.

Pada 11 September 2001 pagi, sebelum jam kerja, ia memasuki Menara Utara World Trade Center. Perempuan tersebut menuju lift yang akan membawanya ke lantai 105, di mana Cantor Fitzgerald berkantor. Lauren adalah eksekutif senior di perusahaan finansial itu.

Baru saja ia melewati pintu kaca, pesawat pertama ditabrakkan ke Menara Utara, tepatnya di lantai 96. Serangan 9/11 dimulai.

Tabrakan itu memicu ledakan, api yang disulut bahan bakar avtur berkobar, lalu menjalar melalui poros lift hingga ke lobi di lantai pertama di mana Lauren berada.

"Ada suara mirip siulan yang sangat keras dan menusuk kuping. Sesaat kemudian saya dilalap api," kata dia seperti dikutip dari SkyNews, Kamis 9 September 2021.

Seketika, tubuhnya berselimut api. Mati-matian, Lauren berusaha melawan hempasan angin, menuju pintu keluar hingga trotoar.

"Rasa sakitnya sungguh tak terkira. Menghancurkan, menembus dalam dan lebih dalam lagi. Saya terbakar hidup-hidup."

Lepas dari WTC ia berlari melintasi jalanan West Street sebelum akhirnya berhenti, menjatuhkan diri, dan berguling di sebidang rumput untuk mematikan api yang membakar tubuhnya. Lauren menolak mati, ia melawan sejadinya.

Seorang pria baik hati membantunya kala itu. Setelah api yang membakar tubuhnya padam, Lauren terbaring kepayahan dengan luka parah. Saat itulah matanya menatap ngeri ke arah Menara Selatan World Trade Center.

Para teroris di balik Serangan 9/11 sedang menabrakkan pesawat kedua.

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Mirip Zona Tempur

Bak adegan kiamat dalam film-film Hollywood, apa yang terjadi dalam Serangan 9/11 sungguh mengerikan.

Lauren Manning melihat orang-orang berjatuhan atau menjatuhan diri dari dua gedung pencakar langit yang terbakar hebat, sebelum menara kembar World Trade Center akhirnya rata dengan tanah.

Belakangan ia mendapat kabar, 658 koleganya di Cantor Fitzgerald meninggal dunia.

Sebelumnya, Manning lolos dari serangan teror bom ke World Trade Center ada 1993. Kala itu, truk bermuatan bom diledakkan pada 26 Februari 1993, menewaskan enam orang, melukai lebih dari 1.000 orang, dan memicu evakuasi sekitar 50 ribu orang.

Meski bisa keluar hidup-hidup dari lokasi Serangan 9/11, nyawa perempuan tersebut masih terancam. Ia harus menanti lama hingga ambulans datang. Luka di tubuhnya mencapai 82,5 persen. Mayoritas adalah luka bakar derajat ketiga.

Lebih dari 20 persen di antaranya adalah derajat keempat atau kelima, yang artinya korban kehilangan otot atau tulang dan harus diamputasi di beberapa bagian. "Dengan standar medis mana pun, saya seharusnya sudah mati," kata dia kepada Sky News.

Manning dilarikan ke rumah sakit dan akhirnya mengalami koma sebelum dipindahkan ke pusat spesialis luka bakar.

Tiga bulan penuh ia dalam kondisi koma. Manning yakin, dukungan dan cinta dari suami, putra semata wayang, dan kedua orangtuanya membuatnya bertahan hidup. Paramedis pun terkejut dengan semangat hidupnya.

Lauren Manning menjalani perawatan selama enam bulan di rumah sakit. Namun, pemulihan yang melibatkan sejumlah operasi makan waktu hampir 10 tahun. Itu baru luka fisik. Kengerian 9/11 tak lekang dari ingatan, bahkan setelah 20 tahun berlalu.


Mirip Zona Perang

Charlie Gray mengira gempa sedang terjadi di New York saat Menara Utara World Trade Center, tempatnya bekerja, berguncang pada 11 September 2001.

Pria asal Inggris itu sedang berada di lantai 26. Tiba-tiba ia melihat puing-puing gosong berjatuhan dari lantai di atasnya. "Kami pikir ada bom," kata dia.

Tak menerima informasi apapun soal apa yang sedang terjadi, orang-orang berlarian menuju tangga darurat.

Charlie dan rekan-rekannya cepat-cepat menuruni tangga. Namun, langkah mereka kian lambat seiring makin banyak orang yang mengakses tangga darurat. Mereka bertemu dengan tiga petugas pemadam kebakaran di lantai 17.

"Dari radio yang mereka bawa, kami mendengar informasi bahwa ada pesawat lain ditabrakkan ke Menara Selatan," kata Charlie.

Ketika akhirnya berada di lantai bawah, pemandangan mengerikan menanti mereka. Mirip zona perang.

Charlie menyaksikan jasad-jasad, sebagian tak utuh, di jalanan dan di dalam mobil-mobil yang hancur tertimpa puing besar.

Jasad seseorang yang terbakar mendarat sekitar 9 meter dari tempatnya berada. Charlie juga menyaksikan sekitar 20 orang melompat dari ketinggian.

Orang-orang itu tak punya pilihan lain untuk selamat. "Tewas karena menghirup asap, terbakar hidup-hidup, atau melompat," kata Charlie.

Ketika ia menaiki feri, Charlie mendengar suara gemuruh. Menara Selatan WTC kolaps di depan mata.

"Kurang dari semenit, dok kapal di mana kami berdiri penuh dengan debu dan puing."


Dihantui Perasaan Bersalah

Charlie Gray selamat dari Serangan 9/11, namun ia kehilangan 20 temannya. Ia bertemu seorang di antaranya di lobi Menara Utara sebelum pesawat pertama ditabrakkan. Itu perjumpaan terakhir mereka.

Tak ada cedera fisik yang dialaminya. Namun, psikiater kemudian mendiagnosisnya mengalami gangguan stres pascatrauma (PTSD) yang disebut "gangguan rasa bersalah".

"Saya sulit memahami mengapa banyak orang yang tewas, sementara saya tidak," tambah Charlie. Ia pun pindah dari Amerika Serikat.

Setelah kembali ke Inggris pada tahun 2016, dia menjadi seorang motivator, memberikan inspirasi dan semangat pada banyak orang. Namun, Charlie tak bisa membohongi dirinya sendiri, ia masih berjuang mengatasi gangguan emosional akibat Serangan 9/11.

"Tapi saya menemukan bahwa membicarakannya dan berbagi pengalaman dengan banyak orang membantu saya melewatinya."

Baba Vanga Ramalkan 9/11?

Tragedi 9/11 Ternyata Pernah Diramalkan Baba Vanga Sang Nostradamus dari Balkan

Liputan6.com 2020-09-11 19:10:00
Baba Vanga (Wikipedia/Creative Commons)

Tepat hari ini 19 tahun silam, sebuah peristiwa terorisme paling mengerikan terjadi. Kala itu, menara World Trade Center (WTC) atau yang lebih dikenal dengan serangan 9/11 hancur jadi debu.

Pelaku serangan berawal saat 19 pembajak dari kelompok militan Al Qaeda membajak 4 pesawat jet penumpang pertama Boeing-767.

Pesawat yang membawa bahan bakar 20 ribu galon itu ditabrakkan ke bagian utara WTC yang terletak di jantung kota New York.

Tak lama kemudian, Boeing-737 dari maskapai yang sama terbang menukik tajam ke bagian selatan gedung tersebut. Sebagian sisi gedung pun runtuh, orang-orang yang berada di dalamnya tewas, demikian dikutip dari laman History.com.

Kejadian ini tentu masih lekat dalam ingatan masyarakat AS dan dunia. Sebab, bukan hanya kerusakan bangunan megah tetapi hilangnya nyawa manusia.

Insiden ini terjadi 19 tahun silam, tepatnya pada tahun 2001. Namun siapa sangka, tragedi ini disebut-sebut telah diramalkan oleh seorang peramalan yang dikenal sebagai Nostradamus asal Balkan, yaitu Baba Vanga.

Peramal buta dari Bulgaria yang dikenal sebagai Nostradamus dari Balkan itu telah meramalkan banyak bencana alam dan perang global sebelum terjadi. Baba Vanga, demikian namanya juga ternyata meramalkan 9/11 pada tahun 1989, sebelum insiden sebenarnya terjadi.

Kala itu, Baba Vanga meramalkan bahwa Amerika akan dihantam oleh dua 'burung baja' dalam serangan teror, yang kemudian ditafsirkan sebagai rujukan ke 9/11.

"Horor, horor! Brethren milik Amerika (kata Brethren diyakini merujuk pada dua menara 'bersaudara' atau menara kembar) akan runtuh setelah diserang burung besi," demikian dikutip dari laman Mirror.co.uk.

"Serigala-serigala akan melolong dalam semak (bush -- yang diduga merujuk pada Presiden AS George Bush) dan darah orang-orang tak berdosa akan mengalir."


Fakta Soal 9/11

Pada 11 September 2001, hampir 3.000 orang tewas, 400 adalah petugas polisi dan petugas pemadam kebakaran, dalam serangan teroris di TC di New York, di gedung Pentagon di Washington DC, dan dalam kecelakaan pesawat di dekat Shanksville, PA.

9/11 bukanlah serangan teroris pertama di WTC. Ledakan sebuah bom pada bulan Februari 1993 menewaskan enam orang.

Pada setiap hari kerja, hingga 50.000 karyawan bekerja di menara kembar WTC, dan ada 40.000 lainnya melewati kompleks.

Penyelamatan dan pemulihan 1,8 juta ton puing-puing dari WTC memakan waktu 9 bulan.

Penumpang United Flight 93, mendengar tentang serangan pesawat sebelumnya dan berusaha untuk merebut kembali kendali pesawat dari pembajak. Akibatnya, para pembajak menjatuhkan pesawat di lapangan Pennsylvania bukan di target yang tak diketahui hingga saat ini.

Video serangan WTC langsung ditayangkan dan beredar dengan cepat. Namun tidak ada rekaman video serangan di Pentagon yang dirilis ke publik sampai tahun 2006.


Simak video pilihan berikut:

Donald Trump dan Lady Gaga Saksi Mata

Saksi Mata Serangan 9/11, Mulai dari Donald Trump hingga Lady Gaga

Liputan6.com 2020-09-11 13:32:23
Sepasang kekasih menikmati 'Tribute in Light' dari sisi Brooklyn Promenade untuk mengenang tragedi serangan WTC di New York, Minggu (10/9). Kota New York memperingati 16 tahun tragedi ser

Di tengah pandemi Virus Corona COVID-19, warga Amerika Serikat akan memperingati tragedi 11 September (9/11) yang terjadi 19 tahun lalu. Momen ini terutama penting bagi warga New York City.

Serangan 911 terjadi pada Selasa pagi, 11 September 2001. Dua pesawat yang dibajak teroris Al-Qaeda menabrak menara World Trade Center di Manhattan.

Menara dengan 110 lantai itu kolaps dan sekitar 2.600 orang meninggal dunia. Beberapa korban serangan 9/11 meninggal akibat jatuh dari atas menara pencakar langit itu.

Lokasi WTC berada di pusat NYC dan banyak sosok yang menyaksikan langsung tragedi 9/11, mulai dari pebisnis Donald Trump, aktor Robert de Niro, hingga remaja bernama Stefani Germanotta yang kemudian dikenal dengan nama Lady Gaga.

Berikut kesaksian mata berbagai tokoh yang berasal dari New York tentang peristiwa serangan 9/11.


1. Donald Trump

Donald Trump merupakan pebisnis asli New York. Ketika serangan terjadi, Donald Trump sedang berada di Trump Tower yang tidak jauh dari WTC.

"Saya memiliki jendela yang melihat langsung ke World Trade Center, dan saya melihat ledakan besar," ujar Trump seperti dikutip The Washington Post.

Trump mengaku kaget saat melihat bagaimana WTC lenyap akibat serangan itu.

"Kini saya melihat tak ada apa-apa lagi. Hilang begitu saja. Ini sulit dipercaya," ucap Donald Trump yang mengaku melihat orang-orang melompat dari menara.

Setelah kejadian, Donald Trump berkata sempat membawa tim untuk mengunjungi lokasi tragedi untuk menawarkan bantuan.


2. Lady Gaga

Lady Gaga lahir di New York pada 1986. Ia masih berusia 16 tahun saat serangan 911 terjadi.

"Sebagai seorang warga New York, hal itu sangat intens," ujar Lady Gaga seperti dilansir Yahoo Music.

Lady Gaga menyaksikan serangan itu bersama teman-temannya di atas gedung sekolah.

"Saya berada di New York pada 11 September dan saya melihat Towers-nya jatuh bersama semua teman-teman perempuanku dari atas sekolah. Seluruh kota tertutup abu," ujarnya.


3. Wali Kota Rudy Giuliani

Rudy Giuliani adalah wali kota New York City pada September 2001. Sebelum pesawat kedua menabrak WTC, Guiliani sudah tiba di Lower Manhattan yang merupakan area kejadian.

Ia pun langsung sadar bahwa 911 adalah serangan teroris.

"Ketika pesawat kedua menabrak, kami tahu bahwa ini adalah serangan teroris," ujarnya seperti dikutip CNN.

Giuliani berkata ia merasakan seperti ada gempa kecil ketika salah satu menara yang ditabrak runtuh. Ia juga tidak melupakan bau terbakar di lokasi kejadian.

"Kejadian itu adalah hal terburuk yang pernah saya lihat seumur hidup saya," ujarnya.


4. Robert de Niro

Aktor kawakan Robert de Niro baru saja pulang melakukan meeting ketika pesawat menabrak World Trade Center. Ia lantas menyaksikan tragedi 9/11 dari jendela rumahnya.

"Saya kembali ke apartemen saya yang menghadap selatan, dan melihatnya dari jendela," kata Robert de Niro seperti dilansir IMDB.

Aktor itu juga mengaku melihat korban yang melompat dari gedung. Robert de Niro tak percaya dengan apa yang ia lihat dan langsung mengecek TV.

"Itu seperti tidak nyata, saya harus mengkonfirmasinya dengan segera melihat layar TV," ujarnya.


Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Diplomat Saudi di Balik 9/11?

FBI Tak Sengaja Ungkap Identitas Diplomat Arab Saudi Diduga Terlibat Tragedi 9/11

Liputan6.com 2020-05-14 05:45:39
Ilustrasi tragedi teror Serangan 11 September di New York, AS (AFP/Henry Ray Abrams)

Dokumen dari FBI tak sengaja mengungkap nama seorang diplomat Arab Saudi yang diduga terlibat serangan 11 September 2001 (9/11) di New York. Serangan teroris itu membunuh hampir 3.000 nyawa.

Nama diplomat itu bocor ketika pejabat FBI merespons gugatan hukum dari keluarga korban 9/11 yang menuduh pemerintah Arab Saudi terlibat pada serangan tersebut. 15 dari 19 teroris 9/11 adalah warga Arab Saudi.

Pemerintah Arab Saudi membantah ada keterlibatan dengan tragedi 9/11.

Pejabat FBI yang dimaksud adalah Jill Sanborn, asisten direktur dari divisi counter-terrorism atau kontra-terorisme FBI. Dan nama diplomat Arab Saudi yang tak sengaja disebut adalah Mussaed Ahmed al-Jarrah.

Info yang bocor terkait 9/11 ini berasal dari temuan Michael Isikoff, kepala jurnalis investigasi di Yahoo News.

Dilaporkan Al Jazeera, Kamis (14/5/2020), al-Jarrah merupakan pegawai Kementerian Luar Negeri Saudi yang bertugas di Washington, D.C., pada 1999 hingga 2000. Tugasnya mencakup mengawasi aktivitas kementerian urusan agama Islam Arab Saudi di masjid-masjid dan pusat agama yang mendapat dana dari Arab Saudi.

Dokumen dari Jill Sanborn itu sebetulnya sedang membahas dua orang yang dituding membantu teroris 9/11, yakni seorang pemuka agama bernama Fahad al-Thumairy, dan Omar al-Bayoumi yang dicurigai sebagai agen Arab Saudi.

Agen FBI menemukan bahwa al-Thumairy dan al-Bayoumi ditugaskan membantu dua orang pembajak pesawat oleh seseorang yang namanya disensor. "Seseorang" ini disebut oleh keluarga korban 9/11 sebagai "orang ketiga."

Orang ketiga inilah yang diduga merupakan diplomat Arab Saudi yang namanya tak sengaja bocor di dokumen FBI. Tidak jelas apa saja peran diplomat itu karena laporannya masih disegel FBI.


Hubungan AS dan Saudi

Michael Isikoff dari Yahoo News berkata langsung mengontak FBI ketika melihat ada nama Mussaed Ahmed al-Jarrah. Pasalnya, ia tahu pemerintah AS memang serba rahasia dalam menangani 9/11 karena dianggap sensitif.

"Saya tahu Kementerian Kehakiman dan pemerintahan Trump berusaha sangat keras agar semua ini tidak menarik perhatian," ujar Isikoff.

Ia juga menyebut bahwa Jaksa Agung William Barr dan Plt. Direktur Intelijen Nasional Richard Grennell telah mengirim mosi ke pengadilan bahwa semua informasi terkait pegawai Kedubes Arab Saudi dan dokumen internal FBI terkait isu ini merupakan hal yang sensitif dan rahasia negara.

"Artinya, jika diungkap maka hal tersebut bisa menyebabkan kerugian pada keamanan nasional," kata Isikoff.

Dokumen yang menyebut nama diplomat Saudi itu sudah ditarik oleh FBI.

Pihak keluarga korban 9/11 lantas menuding bahwa pemerintah AS berusaha menutupi keterlibatan Arab Saudi.

"Ini menunjukan adanya cover-up pemerintah terkait keterlibatan Saudi," ujar Brett Eagleson, juru bicara keluarga korban 9/11.

Arab Saudi adalah sekutu penting Amerika Serikat di Jazirah Arab.


Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Pesan Terakhir Para Korban 9/11

6 Kisah Pilu dalam Pesan Terakhir Korban Tragedi 9/11

Liputan6.com 2019-09-11 14:48:12
Ilustrasi tragedi teror Serangan 11 September di New York, AS (AFP/Henry Ray Abrams)

18 tahun lalu, teror terbesar sepanjang sejarah mengguncang Amerika Serikat. 11 September 2001 gedung kembar yang menjadi pusat bisnis AS, World Trade Center runtuh dihantam dua pesawat bajakan teroris.

Satu pesawat lainnya dijatuhkan di Markas Militer AS, Pentagon.

Teror yang dikenal dengan tragedi 9/11 mengakibatkan sekitar 3.000 orang tewas, termasuk 400 petugas penyelamat yang tengah mengevakuasi korban, ikut kandas terbenam di lokasi. Hampir semua mata tertuju pada pesawat yang menghantam dan gedung yang runtuh.

Setelah 18 tahun berlalu, salah satu keluarga korban tragedi 9/11 mengungkap kisah haru di balik pesan terakhir dari yang terkasih. Sementara kisah lainnya beredar dalam rekaman percakapan menjelang ajal menjemput mereka.

Berikut kisahnya yang Liputan6.com rangkum dari news.com.au, Rabu (11/9/2019):


1. Aku kepanasan...

Mimpi Melissa Doi menjadi seorang ballerina kandas akibat tragedi 11 September 2001. Lulusan Universitas Northwestern yang bekerja sebagai manajer di IQ Financial Systems itu terjebak dalam gedung yang jadi target para militan.

Rekaman suaranya menjadi bukti detik-detik terakhir sebelum ajal menjemput. Saat ia menghubungi layanan darurat 911 dari lantai 83 Menara Selatan, 2 World Trade Center.

Doi: Di sini sangat panas ... saya tak bisa merasakan udara lagi!

911: OK ...

Doi: Yang saya lihat hanyalah asap.

Doi: Oke sayang, saya minta maaf, tunggu sebentar, tetap tenang dengan saya, tetap tenang, dengarkan, dengarkan, saya sedang merekam percakapan ini, tunggu sebentar ...

Doi: saya akan mati, bukan?

911: Tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, cobalah untuk berdoa bu

Doi: saya akan mati.

911: Anda harus berpikir positif, karena Anda harus saling membantu untuk turun dari lantai itu.

Doi: saya akan mati.

911: Sekarang tetap tenang, tetap tenang, tetap tenang, tetap tenang.

Doi: Tuhan Tolong ...

Rekaman suara Doi kemudian terputus.


2. Aku belum siap mati...

Kevin Cosgrove ada di lantai 105 gedung yang sama ketika dia menelepon layanan darurat dari kantor pada pukul 9.54 pagi. Ayah tiga anak berusia 33 tahun itu terperangkap di kantor bersama rekan kerja Doug Cherry.

Mereka mencoba untuk bernapas di tengah kepulan asap hitam yang begitu tebal di bangunan tempat kerjanya.

Cosgrove: Nyonya, ada dua orang di kantor ini. Kami belum siap untuk mati tetapi kondisinya semakin buruk.

911: Kami menuju ke sana.

Cosgrove: ... Ada asap yang sangat tebal.

911: Duduklah di tempat yang aman dan kami akan menghubungi Anda sesegera mungkin.

Cosgrove: Saya tahu Anda memiliki banyak orang di dalam gedung tetapi kami berada di atas. Asapnya juga naik. Ayolah, saya hampir tidak bisa bernapas sekarang - tidak bisa melihat. Benar-benar dalam kondisi buruk, semuanya hitam. Kami pria muda, belum siap untuk mati.

911: Halo?

Cosgrove: Halo ... ada tiga orang di sini, dua jendela rusak ... Ya Tuhan - oh!

Panggilan teleponnya berakhir tiba-tiba, lalu terdengar suara jeritan dan puing-puing jatuh saat panggilan terputus.


3. Kami tak bisa bernapas...

Betty Ong adalah pramugari di American Airlines Flight 11 dari Boston ke Los Angeles, pesawat pertama yang dibajak.

Dia menelepon American Airlines dan Nydia Gonzalez (AAL), agen yang beroperasi, menggunakan Airfone di belakang pesawat. Ini bagian dari percakapan terakhirnya.

Ong: Kokpit tidak menjawab. Ada yang ditikam di kelas bisnis, dan saya pikir ada zat kimia yang membuat kami tak bisa bernapas. Saya tak tahu, saya pikir kita dibajak ... nama saya Betty Ong. Saya Nomor 3 di Penerbangan 11.

AAL: ... Bisakah Anda menggambarkan orang itu, yang ada di kelas bisnis?

Ong: Saya - saya duduk di belakang, seseorang kembali dari kelas bisnis. (Hening) Jika Anda dapat bertahan selama satu detik, mereka akan kembali...

Latar: Saya tidak tahu, tetapi Karen dan Bobby ditikam.

Ong: Kami - Nomor 1 kami ditikam. Kepala pramugari kami ditikam. Ah, tidak ada yang tahu siapa yang menikam siapa dan kita bahkan tidak bisa naik ke kelas bisnis sekarang karena tidak ada yang bisa bernapas. Nomor 1 kami - ditikam sekarang. Dan Nomor 5. Penumpang kelas satu kami itu, pramugari kapal kelas satu dan kepala pramugari kami telah ditusuk dan kami tidak bisa sampai ke kokpit, pintu tidak bisa terbuka. Halo? ... Adakah yang bisa naik ke kokpit? Kita bahkan tidak bisa masuk ke kokpit. Kami tidak tahu siapa yang ada di sana.

AAL: Jika mereka cerdas, mereka akan menutup pintu, dan -

Ong: Saya minta maaf?

AAL: Apakah mereka tidak membuat kokpit steril?

Ong: Saya pikir orang-orang itu di sana. Mereka mungkin pergi ke sana - pintunya macet ... Tak ada yang bisa menghubungi kokpit. Kami bahkan tidak bisa masuk ke dalam.

(American Airlines menyampaikan informasi ke saluran darurat)

AAL: Apa yang terjadi, Betty? Betty, bicaralah padaku. Betty, kamu di sana? Betty? (Hening) Apakah kami terputus? Ok, sepertinya demikian ...".


4. Aku selalu mencintaimu...

Melissa Harrington Hughes baru satu hari di New York untuk urusan bisnis. Saat terjebak di gedung itu, dia menghubungi suaminya, Sean di San Francisco.

Sambil terisak, ia menyampaikan pesan terakhir kepada pasangan hidupnya.

"Aku hanya ingin memberi tahu bahwa aku mencintaimu dan tengah terjebak di gedung ini di New York," katanya di pesan suara untuk sang suami.

"Ada banyak asap dan aku hanya ingin kamu tahu aku selalu mencintaimu."


5. Maafkan Aku...

Ceece Lyles adalah seorang pramugari yang bekerja di pesawat United Airlines Penerbangan 93. Ketika pesawat itu dibajak pada 11 September, ibu empat anak itu menelepon ke rumah dua kali, tetapi tidak dapat menghubungi suaminya yang seorang polisi karena sedang tidur setelah tugas malam.

United 93 adalah pesawat tempat para penumpang dan awak pesawat memutuskan untuk melawan para pembajak, dan ketika bentrokan terjadi kapal terbang itu jatuh di Pennsylvania, hanya 200 kilometer barat laut Washington, DC.

Diyakini mereka mencegah tragedi yang lebih buruk, dan lagi banyak nyawa hilang.

"Hai sayang," kata Lyles di layanan pesan suara-nya. "Saya - sayang, kamu harus mendengarkanku dengan baik. Aku berada di pesawat yang dibajak. Aku di pesawat, menelepon dari pesawat.

"Aku ingin memberitahumu bahwa aku mencintaimu. Tolong beri tahu anak-anak bahwa aku sangat mencintai mereka. Maafkan aku sayang.

"Aku tak tahu harus berkata apa. Ada tiga orang, mereka telah membajak pesawat ... pesawat berbalik dan aku mendengar bahwa pesawat diterbangkan ke World Trade Center."

"Aku berharap melihat wajahmu lagi, sayang. Aku cinta kamu. Selamat tinggal."


6. Selamat tinggal sayang...

Beberapa saat sebelum pesawat United Airlines Flight 175 menabrak World Trade Center pada 11 September 2001, seorang penumpang meninggalkan pesan suara untuk istri yang ditinggalkannya di Massachusetts, Amerika Serikat.

"Jules, ini Brian. Dengar, saya berada di pesawat terbang yang telah dibajak," kata Brian Sweeney, konsultan aeronautika berusia 38 tahun dan mantan pilot Angkatan Laut.

"Jika sesuatu tidak berjalan dengan baik, dan sepertinya memang terlihat demikian, aku hanya ingin kau tahu bahwa aku sangat mencintaimu."

"Aku ingin kamu melakukan hal baik, bersenang-senang -- sama seperti orangtuaku dan semua orang -- dan aku sangat mencintaimu ..."

"Selamat tinggal sayang. Aku berharap bisa menghubungimu lagi".

Sweeney menelepon ibunya untuk mengatakan dia mencintainya, dan mengatakan padanya para penumpang berencana untuk melawan.

"Mereka mungkin kembali ke sini," katanya. "Saya mungkin harus pergi. Kami akan mencoba melakukan sesuatu."

Tiga menit kemudian, pesawat itu jatuh ke lantai atas South Tower.

Pesan suara itu adalah salah satu pesan terakhir memilukan yang bisa didengar pengunjung museum 9/11 di New York melalui telepon yang dipasang di dinding.

Di museum itu terdapat sejumlah rekaman kata-kata terakhir dari penumpang, awak dan pekerja kantor yang termasuk di antara 2.996 korban tewas ketika teroris membajak pesawat dan menabrakkannya ke Menara Kembar, Pentagon dan sebuah lapangan di Pennsylvania.

Dalam rekaman itu, suara mereka menyiratkan rasa ketakutan yang amat sangat karena menyadari akan mati, tapi di lain sisi mencoba menenangkan dan menghibur orang-orang terkasih.

Rekaman itu mungkin adalah salah satu rekaman paling menyedihkan yang pernah Anda dengar.


Saksikan video pilihan di bawah ini: