Kematian Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat tak hanya membuat pilu keluarga, namun juga menyisakan tanda tanya. Keluarga yang penasaran dengan kondisi jenazah, dengan alasan ingin menambah formalin, membuka baju Brigadir J atau Yoshua dan lalu mendokumentasikannya saat para polisi lengah. Hasilnya pun mengejutkan.
Kuasa Hukum Keluarga Brigadir J atau Yoshua, Kamarudin Simanjuntak mengungkapkan, ada dua jahitan di bagian hidung, sayatan di bagian jari manis dan kaki, di bibir, kemudian di leher. Kemudian juga ada memar di perut kanan kiri.
Atas dasar itu, pihaknya melaporkan kasus ini ke Bareskrim Polri tentang pembunuhan berencana. Adapun barang bukti yang dibawa adalah sejumlah foto dokumentasi keluarga yang menunjukan sejumlah kejanggalan kematian pada jenazah Brigadir J.
"Laporan kita telah diterima yaitu laporan tentang dugaan tindak pidana pembunuhan berencana sebagaimana dimaksud pasal 340 KUHP, kemudian jo pembunuhan sebagaimana dimaksud pasal 338 KUHP jo, penganiayaan yang menyebabkan matinya orang lain sebagaimana pasal 351 ayat 3 yaitu tentang penganiayaan berat, itu 3 pasal yang diterima," jelasnya di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin 18 Juli 2022.
Brigadir J dinyatakan tewas setelah adu tembak dengan anggota polisi di kediaman Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo, Jumat 8 Juli 2022 lalu. Dia disebutkan meninggal setelah terkena timah panas yang ditembakkan oleh Bharada E.
Langkah pengacara keluarga Brigadir Yoshua melaporkan ke Bareskrim tentang dugaan pembunuhan berencana dinilai sebagai hal yang tepat. Karena menurut Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hajar, ada bukti yang bisa mengarah pada perkara tersebut.
"Kenapa pengacara keluarga melaporkan itu, karena faktanya menggambarkan itu. Kalau ditembak itu hanya luka di bagian yang kena tembak kan, ini ada sayatan di mana mana. Karena itu menurut saya, (wajar kalau) akan diminta diperiksa kembali, bahkan diperiksa lagi, kan mencari kebenaran," kata dia kepada Liputan6.com, Selasa (19/7/2022).
Fickar mengungkapkan, ada sejumlah alasan yang membuat kasus tersebut mengandung kejanggalan. Di antaranya posisi seorang ajudan yang seharusnya tidak diperkenankan untuk masuk rumah petinggi Polri.
"Saya juga sepakat kejadiannya itu memang janggal. Yang namanya ajudan di banyak tempat, dia enggak bisa masuk ke dalam rumah, hanya di pos jaga atau ke dapur untuk minum. Kenapa orang ini dianggap bisa masuk," ujar dia.
Kemudian kendati tidak menuding oknum kepolisian di balik kasus tersebut, namun menurutnya, hal ini pasti ada kaitannya dengan kejadian. Karena itu, penyidikan kasus ini harus lebih ditingkatkan.
"Bahkan kalau perlu ada penyidikan baru atau tambahan. Saya setuju itu Komnas HAM berdiri sendiri mengadakan penyelidikan. Karena kalau campur, dia enggak independen," ujar dia.
Fickar beranggapan, kasus yang terjadi di rumah Ferdy Sambo merupakan perkara yang mudah diselesaikan. Tinggal tergantung ada tidaknya kemauan dari pihak yang terlibat dalam masalah tersebut.
"Gampang atau susahnya sebuah kasus tergantung para pihak yang terlibat dalam perkara itu. Dia menjadi kelihatan sulit karena ini menyangkut orang-orangnya kepolisian juga. Padahal (kasus ini) sebenarnya enggak sulit. Kan sudah jelas ada orang mati, ada yang nembak, tinggal dicari motifnya," demikian Fickar menandaskan.
Sementara itu menurut Krimonolog dari Universitas Indonesia, Arthur Josias Simon Runturambi, kasus tewasnya Brigadir Yoshua menjadi ujian bagi Polri. Tagline yang terkandung dalam Presisi (Prediktif, responsibilitas, dan transparansi) harus benar-benar dijalankan dalam mengungkap kasus ini di internal mereka.
"Slogan yang sudah disampaikan ke publik itu kita lihat pengujiannya. Polisi sedang diuji, tidak hanya pengujian eksternal juga yang paling penting internal. Yang penting tadi, program polri yang presisi, betul-betul memang menjadi landasan pembuktian dari kasus-kasus di internal mereka sendiri," ujar dia.
Josias menilai langkah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menonaktifkan Irjen Ferdy Sambo sebuah keputusan yang cermat. Dengan demikian, ini menjadi langkah awal dalam mengungkapkan kasus ini lebih transparan.
"Mudah-mudahan itu langkah awal. Karena sebaiknya yang diduga terkait kasus itu jangan punya jabatan tertentu. Nah kemudian selanjutnya ya artinya kan kita bisa kembalikan kepada penyelidik penyidiknya, katakan jikalau ada hambatan segala macam, sudah lebih mudah, karena levelnya sudah ke bawah," jelas dia.
Namun demikian, Josias berharap pemeriksaan kasus ini tak hanya menyasar para petinggi Polri. Tetapi juga anggota kepolisian yang terkait.
"Pak Kapolres Jaksel perlu dinonaktifkan atau tidak? Tergantung, dengan dinonaktifkan apakah itu ada kaitannya ke bawah. Cuman jangan kita, kembali ke penyidik apakah dia akan menelusuri lebih lanjut atau tidak," ujar dia.
Kepolisian sebelumnya sudah menaikkan kasus ini ke tahap penyidikan. Pasal yang dikenakan terkait dengan perbuatan cabul dan pengancaman. Sementara itu, pengacara keluarga Brigadir Yoshua melaporkan tentang pembunuhan berencana.
"Lihat saja perkembangannya, kalau toh keduanya mengklaim dasar penyelidikan penyidikan, toh nanti harus ada dasar pembuktiannya, petunjuk-petunjuk yang akan disampaikan, nanti akan terlihat sesuai enggak. Kan masing-masing punya dasar atau bukti yang kemudian bisa disampikan dalam proses selanjutnya, kita lihat, siapa yang kuat, siapa yang lemah dari petunjuk yang ada," demikian Josias menjelaskan.
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
#sudahdivaksintetap 3m #vaksinmelindungikitasemua
Bareskrim Polri telah menerima laporan keluarga Brigadir J atau Yoshua terkait dugaan pembunuhan berencana dalam kasus adu tembak dua polisi di rumah Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo di Duren Tiga, Jakarta Selatan. Aduan tersebut tertuang dengan Laporan Polisi Nomor: LP/B/0386/VII/2022/SPKT/ Bareskrim Polri tanggal 18 Juli 2022. "Laporan kita telah diterima," tutur Kuasa Hukum Keluarga Brigadir Yoshua, Jhonson Pandjaitan di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (18/7/2022). Dalam aduan tersebut tertulis bahwa laporan itu terkait dengan dugaan tindak pidana pembunuhan berencana dan atau pembunuhan dan atau penganiayaan berat, sebagaimana dimaksud Pasal 340 KUHP dan atau Pasal 338 KUHP dan atau Pasal 351 KUHP. "Tiga pasal sudah diterima," kata Jhonson. Sebelumnya, Kuasa Hukum Keluarga Brigadir Yoshua, Kamarudin Simanjuntak mengatakan, pihak keluarga menemukan kejanggalan dari kematian putranya tersebut yang mereka terima dari Mabes Polri melalui Divisi Humas Polri. "Yang janggal ya penjelasan Karo Penmas, dia bilang tembak-menembak, yang menembak katanya almarhum, tapi yang ditembak enggak kena. Abis 7 peluru. Kemudian yang ditembak, menembak balik 4 kali. Tapi menghasilkan 7 peluru. Kan janggal itu. Senjata apa yang dipakai kok bisa menembak 4 kali menghasilkan 7 peluru," beber Simanjuntak. Tak hanya itu, pihaknya juga mempertanyakan adanya luka seperti terkena senjata tajam yang ada pada tubuh Brigadir Yoshua. "Kenapa ada luka sajam di dalam tubuhnya? Di bibir, di hidung, di mata, di belakang telinga ada sayatan kurang lebih satu jengkal, kemudian di bahu, biru-biru di dada kanan kiri, ada luka tusukan atau syatan di kaki. Jarinya, rahangnya, engselnya lepas ata geser, giginya berantakan," ungkapnya. Kamarudin menyatakan bahwa ada dua lokasi yang diduga menjadi titik keberadaan Brigadir Yoshua sebelum akhirnya tewas dalam rangkaian insiden adu tembak anak buah Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo. Sebab, hal itu terekam dalam jejak komunikasi keluarga dengan almarhum. "Adapun tindak pidana ini diduga terjadi pada tanggal 8 Juli 2022 sekira pukul 10.00 WIB pagi sampai pukul 17.00 WIB sore. Locus delictinya adalah kemungkinan besar antara Magelang dan Jakarta itu alternatif pertama. Locus delectinya yang kedua di rumah Kadiv Propam Polri atau rumah dinas Duren Tiga kawasan Jakarta Selatan," tutur Kamarudin. "Jadi alternatif pertama itu antara Magelang hingga Jakarta, alternatif kedua karena mayat ditemukan di situ berdasarkan hasil visum repertum Polres Jaksel di rumah Kadiv Propam Polri di Komplek Polri di Duren Tiga Jaksel," sambungnya. Menurut Kamarudin, sebelum pukul 10.00 WIB atau rentang lokasi Magelang-Jakarta, Brigadir Yoshua masih aktif berkomunikasi via telepon dan pesan singkat dengan orang tuanya, maupun grup Whatsapp keluarga. "Tetapi setelah pukul 10.00 WIB, almarhum minta izin mau mengawal atasan atau komandannya yang dikawal, dengan asumsi perjalanan tujuh jam. Jadi, artinya tujuh jam jangan ada telepon dulu karena jam 10.00 WIB pagi itu di Magelang tanggal 8 Juli 2022," jelas Kamarudin. Kamarudin menyebut, komunikasi terakhir antara orang tua dan Brigadir Yoshua adalah sekitar pukul 10.00 WIB. Adapun posisi orang tua berada di Balige, Sumatera Utara, sementara Brigadir Yoshua di Magelang, Jawa Tengah. "Setelah jam 10.00 WIB, dia minta izin mengawal balik ke Jakarta. Jadi tidak etis seorang ajudan mengawal pimpinan masih WA dan telepon-telepon. Tujuh jam jangan diganggu dulu. Nah, setelah lewat tujuh jam, yaitu jam 17.00 WIB, maka orang tuanya atau keluarganya yang sedang berada di sana, di Sumatera Utara, mencoba menelepon, tidak bisa, di Whatsapp ternyata sudah terblokir," ujarnya. Kondisi tersebut pun membuat keluarga khususnya orang tua beserta kakak adik Brigadir Yoshua mulai gelisah. Terlebih, disusul terjadi pemblokiran dan diduga adanya upaya peretasan ponsel. "Ayah ibunya handphonenya tidak bisa dipakai, kakak adiknya, semua handphone tidak bisa dipakai, kurang lebih satu minggu. Artinya ini ada dugaan pembunuhan terencana, sehingga bagaimana caranya handphone itu bisa dikuasai passwordnya, berarti sebelum dibunuh, ada dulu dugaan pemaksaan untuk membuka password handphone," kata Kamarudin. Lebih lanjut, bukti percakapan terakhir antara keluarga dengan Brigadir Yoshua tersebut tentu ada di ponsel milik almarhum. Sementara percakapan elektronik atau surat elektronik dari pihak keluarga telah dilampirkan dalam laporan ke penyidik hari ini. "Di Magelang itu dia bersama dalam rangka mengawal Kadiv Propam, kemudian mengawal istrinya dan mengawal anaknya yang sedang sekolah taruna negara di sana," kata Kamarudin. "Mobilnya kami minta untuk segera pemeriksaan, atau penyitaan. Karena ini suatu perkara yang sangat ajaib, terjadi pembunuhan di suatu tempat tapi yang ditangkap atau diamankan, lokasi tidak ditemukan, olah TKP tidak dipasang police line, yang ada informasi rumah dinas tidak ada CCTV tapi informasi dari media atau dari Ketua RT setenpat bahwa recorder CCTV sudah diduga diambil oleh seseorang," tandasnya.